(b>Oleh A. Jafar M. Sidik Jakarta (ANTARA News) - "Black Hawk Down: A Story of Modern War" adalah buku berisi kronik operasi penangkapan gembong milisi Somalia buronan PBB, Jenderal Farrah Aidid, yang dilancarkan tentara Amerika Serikat (AS) pada 1993 ke Kota Mogadishu, Somalia. Delapanbelas nyawa tentara AS dan 700 jasad milisi Somalia menjadi tumbal untuk operasi militer tersebut. Judul buku diambil dari tipe heli tempur yang digunakan AS dalam pertempuran itu, UH-60 Black Hawk. Buku tersebut sebenarnya kumpulan artikel dalam suratkabar The Philadelphia Inquirer yang ditulis wartawan perang Mark Bowden. Tahun 2001 sutradara Ridley Scott mengangkatnya ke layar lebar dan sukses mendulang dua Piala Oscar. Buku ini berbeda dari laporan jurnalistik umumnya karena Bowden menguraikan fakta-fakta di lapangan seperti sedang merajut sebuah cerita fiksi. Bowden menempuh rangkaian riset panjang dan mendalam sebelum menyelesaikan buku eposnya itu. Ia mewancarai pihak-pihak yang terlibat dalam pertempuran yaitu tentara AS, serdadu PBB dan militan Somalia, mengambil gambar medan bekas pertempuran dari helikopter, dan mendengarkan rekaman komunikasi radio di antara para serdadu AS yang terlibat dalam pertempuran brutal itu. Tetapi, ada satu hal yang tak banyak diketahui orang bahwa Bowden bisa menuntaskan karyanya karena "jasa" Internet. "Sepuluh tahun lalu tatkala aku menulis 29 serial artikel untuk Philadelphia Inquirer yang lalu dibukukan menjadi `Black Hawk Down`, kami terlibat dalam beberapa diskusi mengenai bagaimana laporan bisa dimuat di situs kami www.philly.com," kenang Bowden seperti dikutip The Philadelphia Inquirer (17/6). Di tim itu ada seorang perempuan jurnalis muda bernama Jennifer Musser yang diserahi menangani proyek Bowden. Untuk menuntaskan kerja jurnalistiknya, selama beberapa tahun Bowden menyeleksi, mempelajari dan meneliti ratusan rekaman suara, catatan, dokumen, transkrip percakapan radio para prajurit AS, ribuan foto, puluhan rekaman video, dan sejenisnya. "Anda mau memasukkan itu semua?" tanya Jennifer. "Kalau bisa sih," jawab Bowden. Seperti biasa, Bowden menuliskan hasil laporan jurnalistiknya di kertas dengan tak mungkin memuatkan data-data audio dan rekaman video di koran. Bahkan, foto-foto pun mesti dipilih karena mustahil semua masuk cetak. Jennifer, dengan edisi onlinenya, justru berbuat lain. Ia dan koleganya di edisi online mengemas semua bahan tulisan Bowden sehingga muat dalam situs web. "Ia memuatkan teks, video, audio, dokumen, peta, ilustrasi dan rubrik tanya jawab online (Question and Asks/ Q&A) secara bersamaan di edisi online Inquirer. Itulah keunggulan media online dari media cetak. Ini jelas jurnalisme masa datang!" kata Bowden. Sejak diterbitkan secara online, artikel serial Bowden diakses oleh siapa pun dan di mana pun, termasuk para pelaku yang terlibat langsung dalam Pertempuran Mogadishu yang terkenal itu. "Aku mesti berterimakasih kepada Jennifer karena dengan `alat jurnalistik baru`nya, artikelku makin prima karena disunting langsung oleh para pelakunya sendiri," kata Bowden. Sepuluh tahun setelah itu hanya sedikit perubahan yang terjadi dan situs berita ciptaan Jennifer kukuh bertahan sebagai pelopor presentasi laporan jurnalistik via internet. Bowden pernah meyakini media massa non-internet tetap bertahan kendati diguncang banyak prahara, namun akhirnya ia percaya bahwa masa depan jurnalisme ada di dunia digital karena media digital jauh lebih lengkap dan menarik ketimbang media cetak. Tapi, meski semua orang berkesempatan menggapai sukses dengan menerjuni dunia jurnalistik baru ini, jangan keburu mengklaim diri bisa mengalahkan lembaga-lembaga pers tradisional. "Beribu eksperimen boleh dilakukan, tapi media tradisional tetap akan menguasai format media baru ini. Situs-situs berita terbaik saat ini tetap ada dalam penguasaan lembaga pers tradisional. Meski masa depan berita ada di online, tak semua orang bisa sukses karena butuh dana banyak untuk sukses di internet," kata Don Kimelman, mantan editor Inquirer yang kini menjadi direktur pelaksana pada Pew Charitable Trusts. Metode berberita lewat internet memang lebih seksi dan lebih lengkap ketimbang media-media tradisional seperti koran, majalah, radio, dan televisi. "Sesaat, sajian berita online tampak seperti berita televisi ketimbang berita suratkabar namun media online jelas lebih detail karena semua komponen ada. Teks (transkrip) ada, video ada, audio ada, juga foto. Semua tampil berbarengan," kata Bowmen yang kini menjadi koresponden salah satu majalah susastra terbaik dunia, The Atlantic Monthly. Memang, tak seperti televisi dan radio di mana pemirsa mesti memasang kuping dan mata rekat-rekat supaya tak ada informasi yang terlewatkan, para pengguna jurnalisme digital bisa memperoleh semua informasi tanpa merasa tersiksa berkonsentrasi. Mereka bahkan bisa mengomentari subjek berita sedalam dan sesering mereka mau. Pembaca bisa ikut menceramahi baik para wartawan pembuat berita, para kolumnis, maupun sesama pengakses berita online. Sementara di tevisi dan radio, pengguna hanya bisa menjadi pendengar dan pelihat. Lebih dari itu, berita digital tak dikunci oleh format durasi dan merdeka memilih rubrik sesukanya. Yang mungkin revolusioner adalah akan segera berakhirnya era di mana wartawan mesti "ngepos". Era ini akan digantikan para reporter dan editor online yang memperoleh informasi, konfirmasi, dan verifikasi fakta dari masyarakat biasa yang menjadi saksi dan pencocok berita yang hendak dimuat seperti dialami Bowden saat membuat buku "Black Hawk Down". "Aku memang ingin berita tetap ditulis di kertas dan dikirim ke pembaca setiap pagi, tapi tak mungkin semua itu abadi, apalagi dua suratkabar terbesar di AS (New York Times dan Washington Post) mendapat lebih banyak pelanggan justru dari online, bukan dari cetak," kata Bowden. Bowden sendiri kini tidak saja menulis. Ia kini memiliki hobi baru, mengambil gambar video untuk sejumlah kasus yang dia angkat untuk ditulis. Pada hampir setiap cerita yang ditulisnya untuk The Atlantic dan setiap buku yang disusun, Bowden mengerjakannya bak seorang pembuat film dokumenter sedang berkarya. Asyiknya, di samping ditawarkan ke televisi, karya film dokumenternya itu bisa dikemas sedemikian rupa sehingga bisa diakses di Internet. Kendati dikarunia banyak ilmu baru, Bowmen bukan jenis jurnalis senior yang jumawa dan pelit berbagi ilmu kepada juniornya. Untuk itu, berkaca dari pengalamannya, Bowmen sekarang rajin menyarankan para jurnalis muda untuk mempelajari bagaimana menggunakan kamera video untuk berkarya demi jurnalisme baru yang tak hanya membutuhkan teks dan foto, tetapi juga video dan audio. "Jika tua bangka seperti aku bisa melakukan semua itu, bagaimana jadinya jika seorang belia kreatif menumpahkan kenakalan pikirannya di depan layar komputer. Sungguh, aku tak dapat membayangkan itu," kata Bowden mencoba melukiskan dahsyatnya ide kaum muda. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007