Sydney (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengharapkan kemitraan Indonesia dan Australia dalam pelestarian hutan-hutan Kalimantan dan iklim dapat meningkatkan standar kehidupan masyarakat yang selama ini bergantung pada hutan serta dapat melindungi habitat orangutan Kalimantan. "Walaupun Kalimantan milik Indonesia, manfaat hutan dan gambutnya, serta keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya dirasakan oleh dunia," kata Kepala Negara usai menyaksikan penandatanganan nota "Kemitraan Hutan-Hutan Kalimantan dan Iklim Pemerintah Indonesia dan Australia" senilai 100 juta dolar Australia di Sydney, Minggu pagi. Menurut Presiden, kehancuran keanekaragaman hayati Kalimantan berarti kehilangan kesempatan yang tak terhingga untuk memperbaiki kondisi umat manusia dan kehilangan kontribusi lahan gambut bagi penyimpanan karbon akan menyebabkan iklim semakin merana. Presiden Yudhoyono lebih lanjut mengemukakan Indonesia dan seluruh bangsa tidak mampu menanggung beban dari kehilangan tersebut, serta akan menjadi "bencana besar" bagi semua bangsa dan pukulan telak bagi negara-negara miskin yang bergantung pada pertanian dan sumberdaya alam. "Karenanya kemitraan ini menjadi bagian penting dari sebuah upaya besar yakni respon kita terhadap tantangan perubahan iklim yang menjadi bagian semangat Deklarasi Sydney yang baru saja kami adopsi dalam pertemuan puncak kami (KTT ke-15 APEC, 8-9 September.red)," kata Presiden. Selain itu, kemitraan Indonesia dan Australia itu juga menjadi bagian dari semangat rencana aksi nasional tentang perubahan iklim dan pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan yang sedang dirumuskan Indonesia. Presiden menambahkan, penandatanganan nota kemitraan pelestarian hutan Kalimantan dan iklim ini memperdalam persahabatan dan kerja sama Australia dan Indonesia di berbagai bidang selama ini. Kedua bangsa selama ini bekerja sama erat dalam perang melawan terorisme dan kejahatan-kejahatan trans-nasional, mendukung dialog antariman dan antarbudaya, serta penanggulangan penyakit-penyakit menular dan perlucutan senjata. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Alexander Downer mengatakan, penandatanganan nota kemitraan senilai 100 juta dolar Australia itu semakin memperkuat hubungan kedua negara dalam ikut mengurangi buangan gas C02. "Deforestasi dan terbakarnya lahan-lahan gambut yang luas di Indonesia merupakan satu sumber terbesar emisi gas rumah kaca. Kesepakatan hari ini menunjukkan komitmen Pemerintah Australia untuk menangani isu perubahan iklim melalui aksi praktis dan kerja sama internasional yang kuat," katanya. Melalui kemitraan yang dimaksudkan untuk melestarikan 70 ribu hektare hutan lahan gambut, membanjiri kembali 200 ribu hektar lahan gambut kering dan menanam 100 juta pohon baru di atas lahan gambut Kalimantan itu, menurut Menlu Downer, setidaknya 700 juta ton gas rumah kaca diperkirakan dapat dikurangi selama 30 tahun. Ia mengatakan, dalam program kemitraan senilai 100 juta dolar itu, Pemerintah Australia, katanya, akan menyumbang sekitar 30 juta dolar dan akan bekerja sama dengan beberapa negara lain, organisasi non pemerintah internasional, dan sektor swasta untuk mendukung pendanaan program ini. Dukungan sektor swasta antara lain telah diberikan oleh BHP Billiton, katanya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri juga menyambut baik partisipasi BHP Billiton karena berbagai korporasi hanya memiliki perangkat dan keahlian manajemen maupun teknis untuk menjamin keberhasilan berbagai program dan proyek kesejahteraan masyarakat. APEC dan hutan Dalam deklarasi para pemimpin Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Sydney tentang perubahan iklim, keamanan energi, dan pembangunan yang bersih yang telah diumumkan Perdana Menteri John Howard pada pertemuan puncak hari pertama mereka hari Sabtu (8/9), komitmen untuk membangun sedikitnya 20 juta hektare hutan dari berbagai jenis tahun 2020 menjadi bagian penting dari agenda aksi APEC. Dalam Deklarasi Sydney itu, para pemimpin dari 21 anggota APEC juga berjanji memberikan dukungan penuh kepada Indonesia selaku presiden Konferensi ke-13 Negara Pihak dari Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (Conference of Parties of the United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) di Bali, 2-14 Desember 2007. PM Howard mengatakan, Deklarasi Sydney itu juga akan menjadi konsensus internasional baru dalam menghadapi masalah pemanasan global. Dalam Deklarasi Sydney itu, para pemimpin APEC mengatakan, sebagai bagian dari pihak-pihak yang terlibat dalam UNFCCC, mereka sepakat untuk bekerja "secara aktif dan konstruktif" menuju tercapainya pengaturan pasca tahun 2012. "Kami setuju bekerja untuk mencapai sebuah pemahaman yang sama tentang tujuan pengurangan emisi-emisi global yang `aspirasional` jangka panjang untuk memberi jalan bagi tercapainya pengaturan internasional pasca 2012," kata para pemimpin APEC dalam deklarasi tersebut. Mereka juga menghargai upaya-upaya Jepang dan Kanada dalam mengusulkan tujuan global jangka panjang, serta menyambut baik inisiatif Amerika Serikat (AS) menfasilitasi pertemuan anggota-anggota ekonomi utama untuk mencapai kesepakatan tentang "sumbangan rinci" terhadap pengaturan global pasca tahun 2012 di bawah kerangka kerja UNFCCC. Para pemimpin APEC itu juga berjanji mendukung inisiatif Sekjen PBB untuk membuat satu kegiatan tingkat tinggi tentang perubahan iklim, dan setuju bekerja sama baik di tingkat bilateral, regional, maupun global untuk mendukung terwujudnya pembangunan yang bersih dengan menjadikan "proses iklim PBB" forum multilateral yang tepat untuk perundingan-perundingan internasional tentang perubahan iklim. Dalam deklarasinya itu, para pemimpin dari forum kerja sama yang dibentuk tahun 1989 itu pun menegaskan kembalil komitmen mereka untuk bersama seluruh komunitas internasional untuk mendorong tercapainya solusi global atas masalah perubahan iklim. Tanpa adanya prasangka terhadap fora yang lain, para pemimpin APEC dalam deklarasinya juga memuat agenda aksi APEC yang menekankan pada pentingnya memperbaiki efisiensi energi melalui upaya mencapai tujuan "aspirasional kawasan APEC" untuk mengurangi intensitas energi hingga sedikitnya 25 pada tahun 2030. Seterusnya berupaya mencapai tujuan aspirasional APEC untuk meningkatkan wilayah hutan di kawasan hingga sedikitnya 20 juta hektare hutan dari berbagai jenias tahun 2020. Jika tujuan ini tercapai, hutan seluas itu akan "menyimpan sekitar 1,4 miliar ton karbon atau setara dengan sekitar 11 persen emisi global per tahunnya. Para pemimpin APEC itu juga memutuskan pendirian apa yang disebut Jaringan Kerja Asia Pasifik untuk Teknologi Energi (APNet) guna memperkuat kerja sama di bidang riset energi, terutama tentang sumberdaya energi fosil dan yang dapat diperbaharui. Diputuskan pula pembentukan Jaringan Kerja Asia Pasifik untuk Rehabilitasi dan Manajemen Kehutanan untuk meningkatkan pembangunan kapasitas dan memperkuat tukar menukar informasi di sektor kehutanan, serta melanjutkan upaya perdagangan barang dan jasa lingkungan, transportasi udara, pemakaian energi rendah karbon, keamanan energi, perlindungan terhadap sumberdaya biologi dan kelautan, kemampuan analisa kebijakan, dan pendekatan yang saling menguntungkan. Pertemuan puncak para pemimpin forum kerja sama ekonomi beranggotakan Indonesia, Australia, AS, Brunei, Kanada, Chile, China, Hongkong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Papua Nugini, Peru, Filipina, Rusia, Singapura, Thailand, dan Vietnam itu menempatkan isu perubahan iklim sebagai agenda utama, disamping isu perundingan Putaran Doha. (*)

Copyright © ANTARA 2007