Bob Widyahartono M.A. *) Jakarta (ANTARA News) - Dalam Deklarasi Konperensi Tingkat Tinggi Forum Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (KTT APEC) di Sydney yang dibacakan oleh Perdana Menteri (PM) Australia, John Howard, selaku tuan rumah disebutkan adanya isu perubahan iklim, keamanan energi, serta pembangunan yang bersih. Deklarasi itu mengulang kembali mengenai kerjasama ekonomi yang pernah dideklarasikan dalam KTT Hanoi, Vietnam, seperti memperkuat komunitas, membangun masa depan yang berkesinambungan. Rumusan deklarasi itu jelas dan indah untuk dibaca, dan sarat nuansa politisnya. Secara terpisah dinyatakan dalam deklarasi tentang perundingan Organisasi Perdagangan Bebas Dunia (WTO). Jadi, KTT APEC di Sydney mengulang kembali deklarasi Hanoi mengenai kerjasama ekonomi. Agenda Doha (WTO) kembali digarisbawahi perlunya komitmen politik dan fleksibilitas para pemimpin APEC yang mestinya dilaksanakan tahun 2008 nanti. Sejak KTT APEC putaran di Shanghai, China, pada 2001, kemudian di Bangkok (Thailand), serta Chile pada 2004, Pusan (Korea Selatan, 2005), Hanoi (Vietnam, ),2006 dan baru-baru ini di Sydney terasa makin aktifnya Presiden George W. Bush dari Amerika Serikat (AS) berusaha mendominasi persidangan APEC, terutama sejak tragedi hancurnya Twin Tower (Menara Kembar) World Trade Center (WTC) di New York pada 11 September 2001 . AS sejak kepemimpinan Presiden Bush terus saja setiap tahunnya membawa isu terorisme, Hak Asazi Manusia (HAM) ke dalam forum itu dan mendesakkan kesamaan visi politik ini di bawah kepemimpinannya. Pertemuan APEC sejak itu makin menyimpang dari sifat forum konsultatif yang membidangi kerjasama ekonomi. Untungnya, tidak semua anggota ekonomi APEC sepaham dengan Presiden Bush. Mengenai program aksi terhadap "capacity building" masing-masing perekonomian makin tidak memperoleh porsi riil sebagaimana pernah dicetuskan oleh EPG (Eminent Person Group) sejak Deklarasi KTT APEC di Bogor, Indonesia, pada 1994. Lalu, jadi nantinya apa yang diharapkan dari pertemuan APEC 2008 di Peru, kemudian tahun 2009 di Singapura, dan 2010 di Jepang, kalau program aksi kerjasama ekonomi masih saja berupa pernyataan, seperti rencana untuk tahun 2010 pembukaan pasar bebas untuk anggota ekonomi yang maju, dan 2020 untuk yang anggota yang terhitung masih berkembang? Lalu, mengapa kita tidak memfokus pada Asia Timur? Dalam "Towards a bright future of regionalism", (Global Asia Volume 1, No. 1, 2006), Qian Qichen, mantan Wakil PM Republik Rakyat China (RRC), antara lain mengajak elite dan pengamat Asia Timur untuk menyadari bahwa, "...Dewasa ini Asia Timur berada dalam era terbaik dalam sejarah modern. Secara keseluruhan kawasan menikmati pertumbuhan ekonomi yang pesat, stabilitas sosial dan politik, dan hubungan internasional yang damai. Bersamaan dengan itu, pengaruh Asia Timur dalam dunia makin realistis. Dengan pengalaman ber-globalisasi dan sejarah modern dalam pikiran, rakyat di Asia Timur harus menyambut gembira prestasinya yang diperoleh dengan kerja keras. Yang lebih bermakna, kita perlu berdaya upaya secara kolektif untuk menggapai peluang sejarah ini untuk memantapkan kondisi kondisi yang lebih baik bagi pembangunan dan perdamaian masa depan di Asia Timur." Hal ini lebih konkret, dan sesuai harmoni dan budaya produktivitas Asia Timur, termasuk bagi Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Dalam kebersamaan membangun Asia Timur secara berkesinambungan, baik di pihak kita elite pembuat kebijakan, pebisnis dan pengamat, makin perlu berupaya memantapkan cita-cita kerjasama regional di Asia Timur dengan "rencana dan program" dan jadwal waktu yang diterima anggota kawasan. Pembangunan yang damai merupakan kebijakan tulus. Secara spesifik kebijakan Asia Timur idealnya yang bisa menjadi realita disebutnya oleh Qian Qichen mengikatkan diri pada tiga hal rasional, yakni "bertetangga baik, damai pada tetangga dan kemakmuran pada tetangga. (good neigbor, peace and harmony to and with neigbours, and prosperity to neighbours)." Saatnya kini dalam memasuki era Komunitas Asia Timur, maka kerjasama antara pelaku ekonomi, birokrasi dan politik di negeri ini harus makin merupakan suatu pola pikir "dalam kebersamaan kita akan merupakan suatu tim yang kuat". Tidak mudah membangun suatu kerjasama tim (teamwork) yang berjiwa kerja cerdas (work smart) dan inovatif yang sesungguhnya merupakan harmoni Asia (Asian harmony). Harmoni sebagai kebajikan Asia (Asian virtue) tidak semudah kata-kata kalau kita mau saja diadu domba oleh pihak luar Asia. Selama dua dasawarsa, 1980 - 1990an , perdagangan dan Penanaman Modal Asing (PMA) di negeri ini dikerjakan sebagai substitut dalam arti perusahaan, yakni mengekspor ke suatu pasar atau menanam modalnya di pasar itu. Baru belakangan ini perdagangan dan investasi adalah komplementer dalam arti investasi lintas batas geografis mendorong kegiatan impor dan ekspor. Dengan premis ini, maka yang tetap menjadi isu adalah seberapa solidnya pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan (sustainable) akan saling terkait dalam kegiatan ekonomi intra-regional Asia Timur. Wajar kalau para elite di negeri ini menerima kenyataan bahwa lokomotif mesin pertumbuhan intra-regional Asia Timur adalah Jepang dan China sebagai sumber PMA dan teknologi dengan China sebagai penggerak industrialisasi pasar. Prospek ekonomi China dan perubahan peranan Jepang dalam kawasan Asia Timur menjadi makin signifikan masa depan. Keterkaitan antara PMA-Perdagangan memainkan peranan yang penting dalam pertumbuhan ekonomi berkesinambungan di Asia Timur. Kapasitas yang luar biasa sebagai kawasan digerakkan oleh sikap dan perilaku bangsa yang senantiasa mau belajar demi peningkatan mutu kehidupan dan penghidupan sebagai layaknya bangsa yang beradab. Pada akhirnya, ada hal yang juga menarik dari apa yang baru-baru ini juga dicetuskan PM Jepang, Shinzo Abe, seusai acara tandatangan EPA (Economic Partnership Agreement) Indonesia-Japan pada 20 Agustus 2007 dengan ungkapan "care and share" atas dasar kesetaraan dalam membangun kerjasama ekonomi dengan ASEAN sebagai ajakan yang lebih wajar untuk Asia Timur memasuki masa depannya. (*) *)Bob Widyahartono M.A. (bobwidya@cbn.net.id), adalah Pengamat Ekonomi Studi Pembangunan dan Bisnis terutama untuk Asia Timur; dan Lektor Kepala di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta.

Oleh
Copyright © ANTARA 2007