Singapura (ANTARA News) - Harga minyak dunia melonjak mendekati rekor baru di perdagangan Asia, Selasa, karena pertemuan para menteri OPEC di Wina mengalami kegentingan terkait dengan produksi organisasi itu. Muncul pertanda di Wina bahwa kelompok negara pengekspor minyak akan menolak keinginan Arab Saudi untuk meningkatkan produksi. Pada 10:50 am (0250 GMT), harga kontrak berjangka utama minyak jenis ringan di New York untuk pengiriman Oktober lebih tinggi 41 sen menjadi 77,90 dolar AS per barel dari 77,49 dolar pada perdagangan terakhir di AS, Senin. Harga itu tidak jauh berbeda dari rekor tertinggi sebesar 78,77 dolar pada 1 Agustus. Sementara harga minyak Laut Utara Brent untuk pengiriman Oktober berada pad aposisi 75,76 dolar per barel. Kalangan analis mengatakan tidak adanya aksi yang dilakukan OPEC dapat membawa harga komoditas itu di atas 80 dolar. Mayoritas menteri yang hadir dalam pertemuan itu menolak tekanan dari negara konsumen untuk memperbesar pasokan, namun Arab Saudi sebagai produsen terbesar dari 12 negara anggota OPEC mungkin tetap berupaya mengkampanyekan peningkatan produksi sebesar 500.000 barel per hari, kata kalangan analis, seperti dilaporkan AFP. "Ada beberapa ketegangan yang memasuki pasar," kata Victor Shum, prinsipal senior di Purvin and Gertz di Singapura. Meskipun demikian, muncul indikasi bahwa beberapa anggota OPEC berniat untuk menyerah pada upaya peningkatan pasokan. Acting Menteri Perminyakan Kuwait, Mohammad al-Olaim, Senin, mengatakan, "Kita harus mengambil tanggung jawab sebagai produsen." Kuwait sebelumnya menolak tuntutan peniongkatan produksi, sejalan dengan anggota OPEC lainnya, dengan alasan pasokan ke pasar memadai. Menteri Energi Aljazair, Chakib Khelil, juga membuka pintu bagi kenaikan produksi, mengetahui bahaya dari terganggunya pasokan menjelang masuk periode puncakj permientaan karena di belahan utara memasuki musim dingin. "Sekarang, tidak ada masalah antara pasokan dan permintaan. Namun, kita mungkin akan menghadapi persoalan dalam beberapa bulan mendatang." Harga minyak yang tinggi menjadi ancaman bagi perekonomian dunia menyusul goncangan di pasar keuangan dan krisis di pasar perumahan AS. Sementara itu, Arab Saudi dipercayai khawatir bahwa tingginya harga minyak adapat menyeret turun pertumbuhan ekonomi, yang akan menurunkan permintaan minyak dalam jangka panjang. Lembaga Energi Internasional (IEA), kaki tangan negara kaya dan negara konsumen minyak, Senin, mengingatkan kembali mengenai terganggunya pasokan beberapa bulan mendatang. "Pasar saat ini sangat ketat. Kita lihat permintaan meningkat sampai akhir tahun, tidak tertutup kemungkinan sampai awal tahun depan," kata pimpinan IEA yang baru, Nobua Tanaka di Berlin. Vera de Ladoucette, analis di konsultan Cambridge Energy Research Associates, mengatakan, "Muncul spekulasi mengenai peningkatan produksi 500.000 barel." Shum di Singapura mengatakan bahwa jika peningkatan terjadi, "itu secara psikologi akan meredakan pasar." Steve Rowles, analis di CFC Seymour di Hong Kong, mengatakan, jika pun terjadi penignkatan produksi, maka hal itu tidak akan membuat banyak perbedaan. "Pasokan bulanlah masalahnya. Industri penyulingan minyaklah yang menjadi permasalahannya." Rowles mengatakan dia melihat sehari menjelang keluarnya laporan persediaan energi di AS pada Rabu yang dia perkirakan akan menunjukkan cadangan "mengalami penurunan tajam". (*)

Copyright © ANTARA 2007