Bengkulu (ANTARA News) - Pusat Pendidikan untuk Anak dan Perempuan (Yayasan Pupa) Provinsi Bengkulu mendesak DPR RI menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi UU guna melindungi hak-hak perempuan dan anak.

"Tren kekerasan seksual yang terus bertambah sehingga perlu ada payung hukum berupa UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Apalagi, sejak awal tahun 2018 hingga sekarang telah terjadi 113 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak," kata Direktur Yayasan Pupa Susi Handayani saat menggelar jumpa pers di Bengkulu, Minggu.

Yayasan Pupa mendorong DPR RI mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Pengahapusan Kekerasan Seksual untuk memutus mata rantai kekerasan seksual dan memulihkan psikologis korban.

Berdasarkan catatan Yayasan Pupa, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah itu tertinggi adalah kasus perkosaan dengan jumlah 25,6 persen.

Selanjutnya, kasus pencabulan 22 persen, ketiga penganiayaan 22 persen, dan keempat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 18,6 persen, serta kasus lainnya.

Ia menyebutkan tiga pelaku kekerasan di Bengkulu paling banyak terjadi melalui relasi pertemanan yang mencapai 24 persen, lalu disusul suami 15,97 persen, dan tetangga 14,58 persen.

Berdasarkan data tersebut, pelaku bisa dari orang yang tidak dikenal maupun orang yang baru dikenal oleh korban. Hal ini merupakan temuan dari berkembangnya kasus kekerasan yang tahun sebelumnya paling banyak merupakan keluarga inti korban.

Kasus kekerasan seksual kian diperparah dengan perspektif masyarakat yang tidak melindungi korban, bahkan cenderung menyalahkan korban.

Menurut Susi, stigmatisasi masyarakat yang masih menyalahkan kondisi korban menjadi alasan banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang belum tertangani secara optimal.

"Selain pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, penting juga untuk membangun mekanisme perlindungan berbasis komunitas dan sekolah," ucapnya.

Sementara itu, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah mengatakan bahwa pihaknya telah berdiskusi mengenai regulasi pembentukan satgas perlindungan perempuan dan anak hingga tingkat rukun tetangga (RT) untuk mengoptimalkan payung hukum.

"Saya telah berdiskusi tentang upaya membentuk satgas perlindungan anak sampai tingkat RT dengan inisiatif dan swadaya masyarakat. Kalau ini sudah ada, akan lebih sistematis dan produktif dalam melakukan kampanye perlindungan terhadap perempuan dan anak," katanya.

Baca juga: 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan momentum sahkan RUU P-KS

Baca juga: Perlu payung hukum komperhensif lindungi korban kekerasan seksual

Baca juga: KPPPA: hukum berat pelaku kekerasan seksual

Pewarta: Nur Muhamad
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018