Dalam level yang lebih luas dari individu, adanya resistensi antimikroba di masyarakat juga menjadi beban pembiayaan kesehatan bagi pemerintah
Jakarta, (ANTARA News) - Ketua Dewan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof Wiku Adisasmito mengingatkan bahaya resistensi antimikroba di masyarakat karena akan berdampak pada durasi perawatan dan biaya pengobatan.

Menurut Wiku dalam siaran persnya yang diterima di Jakarta, Rabu,  pengobatan menjadi kurang efektif karena resistensi antimikroba  berdampak pada durasi perawatan dan penggunaan obat yang lebih mahal, serta tentunya pada biaya yang dikeluarkan.

"Dalam level yang lebih luas dari individu, adanya resistensi antimikroba di masyarakat juga menjadi beban pembiayaan kesehatan bagi pemerintah," katanya.

Wiku yang juga pemerima  penghargaan Academic Leader Award 2018 dari Kemenristekdikti beberapa waktu lalu menegaskan, tidak hanya tenaga kesehatan yang perlu mengedukasi pasien dan keluarganya mengenai dosis dan lama waktu penggunaan obat antimikroba, namun juga  industri obat maupun pemerintah selaku pembuat kebijakan.

Konsep One Health dinilai paling tepat untuk menyelesaikan masalah resistensi antimikroba pada manusia, hewan, dan lingkungan.

Pendekatan One Health merupakan pendekatan multisektor yang melibatkan berbagai profesi dan institusi kesehatan untuk berkolaborasi secara lokal, nasional, dan global dalam mencapai kesehatan yang optimal melalui pencegahan penyakit akibat interaksi hewan, manusia, dan lingkungan.

“Jika dari bidang peternakan dapat menekan penggunaan antibiotik pada hewan, dari bidang kesehatan masyarakat juga dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat,  bidang kedokteran dan farmasi juga mampu melakukan pengobatan secara efektif, maka laju resistensi bisa kita kendalikan. Ini kan konsep One Health. Semua sektor bekerjasama, termasuk pemerintah dan industri," kata Wiku yang juga selaku Koordinator Indonesia One Health University Network (INDOHUN).

Kerugian yang ditimbulkan oleh resistensi antimikroba mengacu pada dampak peristiwa yang tidak seharusnya terjadi jika resistensi tidak ada. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa adanya resistensi mikroba membuat waktu pengobatan infeksi menjadi lebih lama.

Mengutip hasil sebuah studi, seseorang yang terinfeksi bakteri S.aureus resisten memiliki risiko kematian hampir dua kali lipat. Pada penelitian lainnya, pasien yang terinfeksi bakteri K. pneumoniae resisten menjalani masa rawat inap lebih lama 18 hari dibandingkan dengan pasien yang terinfeksi bakteri yang tidak resisten, sedangkan untuk bakteri P. aeruginosa resisten menyebabkan durasi rawat inap pasien lebih lama 14 hari.

Sementara itu Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Syamsul Ma’arif pada puncak perayaan World Antibiotics Awareness Week pada 18 November 2018 mengatakan, resistensi antibiotik itu peristiwa alami, hanya saja bagaimana caranya agar laju resistensi tersebut bisa kita kendalikan.

Penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan obat antimikroba meningkatkan jumlah dan jenis organisme yang resisten. Hal tersebut berdampak pada semakin banyaknya penyakit infeksi yang menyebar, ditambah lagi dengan perkembangan perdagangan dan perjalanan lintas benua yang semakin mudah dilakukan, mikroogranisme resisten dapat menyebar ke berbagai bagian di dunia.

Baca juga: TNI gandeng Indohun cegah ancaman bioteror
Baca juga: Cegah wabah penyakit pasca bencana dengan "One Health"

Pewarta: Atman Ahdiat
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2018