Menjadi seorang pemimpin itu, hal pertama dipikirkannya adalah hal yang terakhir ditinggalkannya
“Menjadi seorang pemimpin itu, hal pertama dipikirkannya adalah hal yang terakhir ditinggalkannya,” ujar Direktur Utama PT Angkasa Pura II Muhammad Awaluddin. 

Tidak lain tidak bukan yang Ia pikirkan sejak diamanahkan menjadi pemimpin operator bandara pelat merah itu sejak September 2016 sekaligus yang ingin Ia wariskan adalah “Smart Airport”.

“Dan ada di benak saya waktu itu adalah ‘smart sirport’ dan itulah yang ingin saya tinggalkan apabila saya harus meninggalkannya besok, bulan depan atau dua tahun lagi,” kata pria kelahiran Jakarta, 15 Januari 1968 itu. 

Tujuan dari “smart airport” atau bandara pintar itu sebetulnya sederhana, yaitu ingin menciptakan pengalaman menyenangkan bagi pengunjung yang selama ini terkesan menimbulkan ketidaknyamanan, baik itu sebelum penerbangan menuju bandara karena terhalang kemacetan, mengantre panjang untuk lapor diri (check in) maupun setelah penerbangan, menunggu lama bagasi serta taksi. 

Awaluddin menjelaskan terdapat dua kata penting dalam mewujudkannya, yaitu “smart” (pintar) dan “connected” (connected), yakni bagaimana infrastruktur yang dibangun baik itu “soft infrastructure” maupun “hard infrastucture” mendukung konektivitas di mana kegiatan di dalamnya sangat kompleks. 

Kata “pintar” itu sendiri bukan semata-mata hanya tertanam di infrastruktur bandara, melainkan ditularkan kepada masyarakat untuk membentuk masyarakat digital yang cerdas. 

“Jadi, dengan adanya digitalisasi ini, kita mengedukasi masyarakat untuk mendorong komunitas digital ke depannya,” ujar lulusan Executive Education Program Harvard Business School itu. 

Dengan digitalisasi, budaya masyarakat yang tadinya terbiasa dilayani, maka akan bergeser ke budaya yang melayani sendiri serta bisa memilih sesuai dengan kebutuhan, contohnya terbiasa untuk lapor diri mandiri (self check-in), memilih taksi sesuai dengan kebutuhan dengan adanya mesin antrean otomatis serta adanya aplikasi Indonesia Airports yang bisa mengetahui informasi penerbangan terkini tanpa harus pergi ke bandara. 

Tentu, Awaluddin yang merupakan mantan Direktur Layanan Perusahaan dan Bisnis PT Telkom itu menilai digitalisasi menciptakan efisiensi baik dari segi waktu maupun tenaga karena seluruhnya sudah serba elektronik dan terangkum dalam bank data (database) yang akan menentukan arah bisnis digital. 

Saat ini, andalan pendapatan AP II dari tarif pelayanan jasa penumpang pesawat udara (PJP2U) atau “passenger service charge” (PSC), namun dengan adanya digitalisasi bisa mengalirkan arus pendapatan lainnya.

“Ada 105 juta pergerakan penumpang setiap tahun dan bayar PSC, ini bisa kita monetisasi dengan menyediakan layanan digital sebagai ‘multi-sided revenue stream’,” katanya.

Artinya, akan ada peluang bisnis baru bagi AP II dengan memanfaatkan bank data pengunjung yang bisa menjadi acuan untuk merancang model bisnis yang bisa disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan saat ini, contohnya mengganti transasksi di bandara menjadi nontunai.

Awaluddin menyebutkan nilai transaksi tunai di Bandara Soekarno-Hatta mencapai Rp3 triliun dalam setahun. 

“Itu akan menjadi peluang portofolio bisnis kami yang masuk dalam Giant Dream 2020,” katanya.

Revitalisasi Terminal

Tidak hanya dari segi infrastruktur lunak (soft infrastructure) yang dikembangkan untuk mewujudkan bandara pintar,tetapi juga dari sisi infrastruktur keras (hard infrastructure), yakni dengan pembangunan landasan pacu ketiga, revitalisasi Terminal 1 dan 2, pembangunan “east cross taxi way” dan Terminal 4.  

Untuk revitalisasi Terminal 1 dan 2, AP II menggelontorkan Rp3,7 triliun dengan rincian Terminal 1 Rp1,9 triliun dan Terminal 2 Rp1,8 triliun untuk jangka waktu pengerjaan hingga tiga tahun (multiyears). 

Terminal tersebut nantinya juga akan dijadikan terminal khusus penerbangan berbiaya murah (LCC) seiring dengan upaya pemerintah dalam menggenjot jumlah wisatawan mancanegara.

Awaluddin menuturkan Terminal 1 akan dijadikan khusus terminat LCC domestik, Terminal 2 untuk LCC domestik dan internasional, sementara Terminal 3 untuk terminal khusus penerbangan pelayanan lengkap (full service). 

“Masing-masing dari revitalisasi terminal itu akan menambah daya tampung penumpang menjadi 25 juta penumpang yang tadinya hanya sembilan juta,” katanya. 

Kendari demikian, Ia menilai tidak cukup apabila hanya mengandalkan tiga terminal tersebut, terlebih dengan hadirnya konsep terminal LCC. 

Untuk itu, AP II juga membangun Terminal 4 yang saat ini tengah dilaksanakan tender desain hingga 2019 karena terminal keempat itu bisa menampung penumpang 45 penumpang. 

Upaya menggenjot daya tampung terminal bandara memang salah satu yang terus dikejar oleh AP II karena pada 2030, jumlah penumpang diproyeksikan 150 juta penumpang dengan 587.000 pergerakan pesawat per tahun.

“Terminal 1 itu dibangun tahun 1975 sampai 1983, baru dibangun Terminal 2 tahun 1985 selesai tujuh tahun kemudian 1992 dioperasikan dan 14 tahun kemudian baru dibangun Terminal 3, kita tidak bisa berlama-lama lagi kejar-kejaran dengan jumlah penumpang yang naik tiap tahunnya,” katanya. 

Selain itu juga dengan dibangunannya “east cross taxyway” dan landasan pacu ketiga, maka pergerakan pesawat yang saat ini maksimum hanya 86 pergerakan per jam, nantinya bisa mencapai 114 pergerakan per jam. 

Merambah Pasar Regional

Belum cukup dengan pengembangan bandara pintar, Awaluddin mulai merambah pasar regional dengan menjajaki kerja sama untuk mengoperasikan Bandara Internasional Clark di Filipina. 

Bersaing dengan dua operator bandara besar, yaitu Changi Airport Singapura dan Kuala Lumpur International Airport Malaysia, Ia percaya diri dalam memenangkan tender pengoperasian bandara tersebut.

“Apabila kita hanya melakukan percepatan pertumbuhan dengan cara natural, melakukan yang normal-normal saja, bagaimana kita berakselerasi,” ujarnya. 

Dia memegang prinsip bahwa bisnis harus mengikuti jaringan (network), pergerakan (traffic) dan orang (people) dan Filipina merupakan pasar yang potensial di mana jaringan di regional kuat serta terdapat tiga juta penumpang dari Amerika Serikat yang tiap tahunnya “pulang kampung” ke Filipina untuk merayakan Natal.

“Tiga syarat itu ada dan dinamikanya sangat tinggi,” katanya. 

Dari semua pengembangan yang AP II lakukan, pada intinya Awaluddin ingin menjadikan bandara bukan sekadar tempat singgah, melainkan juga rumah.

“Bandara yang bagus itu seperti rumah yang nyaman, orang akan selalu kembali dan membicarakannya,” ujar ayah tiga anak itu. 
 

Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2018