Jakarta, 16/9 (ANTARA) - Mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Iwantono Sutrisno berpendapat bahwa tidak ada kepemilikan saham silang di PT Indosat dan PT Telkomsel oleh Singapore Technology Telemedia (STT) karena STT bukan pemegang saham di Indosat dan juga bukan pemegang saham di Telkomsel. "Menurut saya tidak ada pelanggaran oleh STT," kata Iwantono, di Jakarta, Minggu, saat diminta pendapatnya soal pemeriksaan KPPU atas dugaan kepemilikan silang pada Indosat dan Telkomsel oleh STT yang diduga melanggar Pasal 27 UU No.5 tahun 1999, tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal 27 menyebutkan, pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar yang sama apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan satu pelaku usaha atau kelompok pelaku menguasai lebih dari 50 persen pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Iwantono berpendapat, STT bukan merupakan perusahaan yang didirikan di Indonesia dan tidak menjalankan usaha di Indonesia sehingga tidak memenuhi unsur pelaku usaha seperti disyaratkan pasal 1 huruf 5 UU No.5 tahun 1999, yang menjadi acuan pasal 27. Ia menjelaskan, pemegang saham PT Indosat bukan STT tapi Indonesia Communication Limited (ICL) dan Indonesia Communication Pte sebesar sekitar 41 persen, dan sisanya pemerintah Indonesia dan publik. "Secara hukum persaingan usaha, STT tidak ada kepemilikan langsung terhadap Indosat dan juga di Telkomsel," katanya. "Jika ICL dan IC Pte dianggap mewakili STT, tetap kepemilikannya tidak mayoritas karena hanya 41 persen, di bawah 50 persen," katanya. PT Telkomsel dimiliki oleh Singapore Telecom Mobile Pte Ltd (STM Pte Ltd) sebesar 35 persen dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk 65 persen. STM bukan pemegang saham mayoritas di Telkomsel dan juga bukan pemegang saham di PT Indosat. Ditanya apakah ada kasus serupa yang diputus KPPU, Iwantono mengatakan, kasus Cineplex 21. Perusahaan dinyatakan melanggar pasal 27 karena kepemilikan silang pada dua perusahaan masing-masing melebihi 50 persen sehingga mereka diwajibkan menurunkan kepemilikan saham hingga di bawah 50 persen. "Karena itu KPPU harus konsisten dengan jurisprudensi yang ada, jangan sampai tidak konsisten. Dalam kasus telekomunikasi ini jelas faktanya kepemilikan saham tidak lebih 50 persen," katanya. Iwantono juga khawatir putusan KPPU akan mudah dibatalkan di Pengadilan Negeri karena perusahaan yang dinyatakan sebagai terlapor termasuk STT tidak diperiksa dalam pemeriksaan pendahuluan tetapi tiba-tiba dinyatakan sebagai terlapor dalam pemeriksaan lanjutan. Ditanya kemungkinan adanya dugaan kartel dalam industri telekomunikasi, Iwantono justru melihat saat ini terjadi perang harga. "Kalau terjadi perang harga mana mungkin terjadi kartel," katanya. Jikapun ada kartel maka Iwantono menyarankan tuduhannya bukan pasal 27 tapi pasal terkait kartel seperti Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13. Ia mengatakan, jika dugaannya kartel maka sebaiknya pemeriksaan dihentikan dulu dan dilakukan pemeriksaan ulang dengan memilih tuduhan pasal-pasal yang relevan. Hal itu akan sangat menguntungkan KPPU karena bisa menjadikan kasus tersebut menjadi perkara inisiatif. "Perkara inisiatif memungkinkan KPPU memeriksa dengan jangka waktu yang lebih panjang," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007