Jakarta (ANTARA News) - Ketika seorang warga biasa pertama kali membunuh, apa yang dia rasakan? Akankah rasa takut berangsur hilang, lalu, akan seperti orang yang telah menjadikan senjata sebagai bagian dari dirinya? Film "The Brave One" mencoba menawarkan pertanyaan berkonsekuensi hidup-mati tersebut, tanpa meninggalkan sisi tontonan yang menegangkan. Erica Bain (Jodie Foster) adalah seorang kolumnis radio yang mencintai setiap denyut dan detik Kota New York. Lewat siaran "Street Walk", Bain mengugah orang bahwa New York adalah anugerah; kota dengan kumpulan kisah memikat yang tergerus masa. "...kota yang menghilang persis di depan mataku," ucapnya saat siaran, lalu mencontohkan pudarnya legenda tentang kejadian-kejadian di balik kamar hotel The Plaza yang legendaris. Bain tidak pernah menduga kota yang dia personifikasikan itu justru mencengkeramnya, secara sangat pilu, lewat kekerasan yang dialaminya bersama sang pacar, David Kirmani (Naveen Andrews). Dia menghadapi sendiri segalanya, tanpa teman, karena di kota besar orang terbiasa hidup mandiri, seperti tetangganya, Josai (Ene Oloja) yang akrab bertegur sapa tanpa pernah menyebut nama. Sapaan "kota teraman di dunia" untuk para pendengarnya, digunakan Bain ketika mencoba bangkit, namun ucapan itu memiliki arti berbeda, khususnya setelah dia menggunakan pistol otomatis. Dengan benda itu, dia kembali berkeliling kota dengan "mic" untuk merekam suara-suara New York, yang membawanya berkenalan dengan seorang penggemar acaranya, detektif Sean Mercer (Terrence Howard). Foster (44), masih sangat kental dengan sosok perempuan biasa yang menjadi perkasa, seperti dalam "Panic Room" dan "Flightplan". Tantangannya, dalam film terbaru ini adalah dia berubah total menjadi orang lain, dan bukan sekedar muncul sebagai pahlawan saat krisis. Film ini digarap para pekerja seni peraih Oscar. Selain Jodie yang meraih Oscar lewat peran dalam film "The Silence of the Lambs" dan "The Accused", terdapat sutradara Neil Jordan, sutradara terbaik Oscar untuk film "Crying Game", serta juru kamera, Philippe Rousselot, yang memenangi Oscar lewat "A River Runs Through It" dan Mercer yang dua kali menjadi calon peraih Oscar untuk peran "Hustle & Flow" dan "Crash". Kolaborasi mereka sangat bagus dalam mempersembahkan transformasi diri Bain; kamera berada di belakang Bain yang berjalan dengan panik, kemudian berputar mendahului langkah Bain dan dalam beberapa langkah, terlihat sosok yang sudah menjadi "the brave one". Cepat dan pasti, Bain, menambahkan satu sisi manusia dalam hidupnya, yaitu nafsu balas dendam. Dia dengan tenang bertanya, "bagaimana rasanya, saat anda membunuh pertama kali?" kepada Mercer. Sang detektif, yang penggemar berat siaran Bain, selama ini mengalami frustasi karena hukum yang meloloskan berbagai "orang jahat". "Aku selalu berlaku benar...jadi tidak pernah ragu menembak," kata Mercer saat ditanya Bain apakah pernah ragu untuk menembak. Mereka dua kali mengobrol sambil makan minum. Pada obrolan pertama, di awal perkenalan, Bain ingin mengungkap lebih jauh tentang kerja sang detektif. Pada obrolan kedua, giliran Mercer-lah yang ingin mengungkap bahwa tugasnya sebagai polisi di atas segala-galanya. Gambar di "The Brave One" tidak satupun menampilkan kemegahan, kebesaran, dan kenyamanan kota terbesar di dunia yang berpenduduk 8,5 juta jiwa itu, bahkan taman kota yang terkenal luas, Central Park, hanya digambarkan lewat tangga curam, lorong, dan temaramnya lampu taman. "Kebesaran" New York diwakili oleh apartemen kecil, gang sempit, Polsek kumuh, dan Chinatown yang berdesak. Hal itu diperkuat pengambilan gambar yang tidak jauh-jauh dari "medium shoot" serta penata suara yang handal. Kota yang ramai itu terdengar sangat sepi dari apartemen Bain, kecuali sayup-sayup terdengar teriakan buruh proyek di luar apartemennya. Dalam wawancara dengan majalah MORE, Jordan, mengatakan film yang dia arahkan itu kisahnya sangat "Amerika", yaitu mengenai kekerasan. Amerika sepertinya suatu negeri anarki terencana. Sutradara asal Inggris itu seolah meneguhkan AS sebagai bangsa yang haus darah. Survei dari Harris Interactive pada 2004 menyebutkan bahwa 36,5 persen warga Amerika memiliki senjata dan menurut "Coalition to Stop Gun Violence", rata-rata setiap hari 80 orang Amerika tewas ditembak. Bangsa yang mengizinkan penjualan senjata itu juga memiliki sejarah empat presidennya tewas ditembak, belum termasuk tokoh penting masyarakat Martin Luther King dan Robert F. Kennedy. Sementara itu, Foster, dalam wawancara dengan Entertaiment Weekly, mengakui bahwa niat balas dendam adalah salah satu sifat manusia yang memalukan, namun hal itu tidak dapat dipungkiri itulah yang membentuk manusia. Mengenai kritik bahwa filmnya tidak beda dengan film main tembak seperti Dirty Harry, dia mengatakan, "Saya tidak percaya bahwa senjata seharusnya ada dalam pikiran, perasaan dan nafas manusia." "Bangsa Amerika sifatnya dipenuhi dengan kemarahan yang mengalahkan rasa takut. Senjata api adalah bagian besar dari sejarah Amerika, dan kekerasan sudah mutlak menyeleweng," katanya lalu mengemukakan bahwa film terbarunya itu menggambarkan hal tersebut. Mengenai judul "The Brave One" (Si Pemberani), yang dikecam karena seolah merupakan provokasi, dia mengatakan, "Setiap waktu (di saat pembuatan) kami seolah mengatakan teman-teman, judulnya salah, ini menyesatkan. "Satu-satunya penjelasan mengapa judulnya begini, soalnya terdengar bagus." Menrut dia, banyak film bagus judulnya jelek, seperti "Gone With The Wind" dan "The Way We Were". Menurut pihak studio, film tersebut, seperti film-film Foster sebelumnya, 55 persen penontonnya adalah perempuan dan tiga perempatnya berusia lebih dari 30 tahun. Warga AS penggemar Foster, yang trauma dengan serangan teroris atau kriminal dan geram balas dendam, agaknya menjadi kombinasi yang tepat untuk ceruk baru penonton film. "The Brave One" yang diputar di seluruh AS mulai 14 September, dalam beberapa hari saja telah menghasilkan pemasukan 14 juta dolar AS dan berada di posisi teratas peringkat film Hollywood paling laku.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007