Demokrasi dan dampaknya pada kemakmuran bangsa-bangsa yang mengadopsi sistem politik itu sering dijadikan objek kajian di komunitas akademis.

Tak terelakkan jika ada pandangan yang mengatakan bahwa demokrasi berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang menjadi arena di mana demokrasi itu diaplikasikan.

Namun bagaimana demokrasi berproses dan akhirnya mengangkat derajat kemakmuran suatu bangsa tidaklah sesimplistis yang diteorikan para akademisi.

Biasanya, sebelum demokrasi bekerja secara substansial, jadi tak hanya secara formal institusional, berlangsunglah tarik-menarik kekuatan-kekuatan di masyarakat yang akan mewarnai wajah demokrasi.

Indonesia adalah eksemplar tentang bagaimana berbagai kekuatan prodemokrasi dan kaum konservatif yang sebisa mungkin menghambat demokrasi di jalur yang tepat tengah berproses.

Bila demokrasi yang substansial dan mapan beroperasi sebagaimana diperlihatkan oleh dinamika politik negeri-negeri yang usia demokrasinya lebih dari seratus tahun, hampir semua pemangku kepentingan di sana saling melakukan cek untuk menjaga keseimbangan antarkekuasaan.

Tentu di negara-negara yang matang demokrasinya pun tak bebas dari hambatan-hambatan yang muncul dari kiprah para politikus yang manipulatif dalam berburu dan mempertahankan kekuasaan.

Namun kemampuan memanipulasi itu pada akhirnya akan berhadapan dengan publik yang rata-rata relatif melek demokrasi dan anjing penjaga demokrasi yang bernama pers, yang kini diperkuat lagi oleh media sosial.

Sebaliknya, di negara-negara yang demokrasinya masih berusia belia, Indonesia termasuk di dalamnya, tekanan dari kekuatan-kekuatan antidemokrasi masih relatif kuat meskipun secara berangsur-angsur bisa dipudarkan oleh dinamika politik bersamaan dengan semakin banyaknya warga yang melek demokrasi.

Tarik-menarik antara kekuatan yang mengonsolidasikan diri untuk menjaga kepentingan kelompoknya dengan menghadang laju demokrasi dan mereka yang terus berjuang guna menguatkan tegaknya demokrasi tampaknya tak akan berhenti.

Menurut analisis Majalah Time yang menjadikan narasi tentang demokrasi sebagai laporan utamanya pada 22 Juli 2018, secara keseluruhan di tataran global, ada gejala kemerosotan dalam kemerdekaan demokratis. Satu dari tiga orang di dunia kini hidup di bawah rezim otoriter dan banyak dari warga dunia yang tengah menjalani kehidupan di bawah kemunduran kebebasan berdemokrasi.

Yang menarik adalah fenomena di Amerika Serikat sendiri yang dilukiskan Time tengah terjadi peningkatan perilaku partisan yang menurunkan kompromi-kompromi dalam berdemokrasi. Perilaku Presiden Trump mendeskreditkan media massa dan institusi peradilan membuat banyak orang prihatin dan melontarkan kritik.

Meski demikian ulah Presiden yang dinilai lebih mengutamakan kepentingan ekonomi nasional daripada menjunjung tinggi hak asasi manusia, terkait dengan desakan para legislator dan senator AS untuk menjatuhkan sanksi terhadap Saudi Arabia setelah kematian jurnalis Jamal Khashoggi, diprediksi Time tak akan merongrong kedigdayaan institusi demokrasi dan pasar bebas yang menjadi penopangnya.

Dalam konteks demokrasi di Tanah Air, yang empat bulan ke depan menyelenggarakan pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif, ancaman terhadap tegaknya demokrasi yang substansial antara lain datang dari luar maupun dalam tubuh institusi demokrasi itu sendiri.

Proses peradilan yang masih bias dan melenceng dari rasa keadilan publik, rongrongan aksi korup dari lingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif serta masih banyaknya pemilih yang belum melek demokrasi membutuhkan kerja keras dari para pegiat demokrasi, politikus bersih untuk memberikan perlawanan terhadap anasir perongrong demokrasi itu.

Yang tak bisa diabaikan dalam memperkuat nilai-nilai demokrasi adalah mengakui bahwa demokrasi juga melahirkan paradoks internal. Artinya, demokrasi yang membuka kemerdekaan berbicara dan berserikat itu malah memungkinkan lahirnya kekuatan-kekuatan antidemokrasi untuk mengonsolidasikan diri dan melakukan manuver guna melemahkannya.

Gejala-gejalanya sudah mulai dirasakan lewat sejumlah produk legislasi di sejumlah daerah, yang membuat peraturan-peraturan daerah berbasis keagamaan sektarian, yang jelas-jelas tak kompatibel ditinjau dalam kerangka berpikir demokrasi.

Jika tak diusahakan lahirnya kekuatan pengimbang yang bisa mengembalikan demokrasi ke jalur yang tepat, yang antara lain ditandai dengan pelahiran peraturan yang berlaku setara bagi semua warga negara tanpa memandang latar keberagamaan, ancaman terhadap demokrasi itu akan semakin menguat.

Demokrasi memang tak selalu menjadi faktor penentu dalam memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat. Terbukti bahwa beberapa negara yang dipimpin penguasa otoriter sanggup menyejahterakan warga negaranya melebihi beberapa negara yang menikmati kemerdekaan demokratis lebih tinggi.

Namun hidup bukan semata-mata membutuhkan roti, demikian slogan mereka yang mimpi-mimpi hidupnya adalah merasakan perut kenyang sekaligus merdeka melampiaskan unek-unek personalnya kepada penguasa. Mereka adalah orang-orang yang mafhum bahwa berkah demokrasi jauh lebih besar daripada mudaratnya.

Para pengecam demokrasi pada umumnya berpijak pada asumsi-asumsi sektarian yang implikasinya adalah mengeksklusikan liyan, pihak lain yang tak diakui eksistensinya.

Dalam konteks ini, bukan hanya di Tanah Air, di hampir semua negara, asumsi-asumsi sektarian ini bercokol. Penolakan terhadap eksistensi kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender merupakan salah satu reaksi umum di kalangan sektarian di mana pun. Tentu intensitas penolakan mereka yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya.

Tampaknya, demokrasi memang tak bisa dimetaforakan semacam proses perjalanan sebuah kendaraan di jalan bebas hambatan, atau di jalan raya dengan pengawalan satu atau dua orang polisi.

Diperlukan sejenis keyakinan dari sebanyak mungkin warga untuk menjaga eksistensi demokrasi. Keyakinan itu kurang lebih berupa pernyataan batiniah bahwa hanya demokrasi yang memuliakan umat manusia, yang memungkinkan pergantian kekuasaan dengan seminim mungkin pergolakan fisik, yang menjadi gejala lazim baik dalam sistem monarkis maupun teokratis.

Baca juga: Mempertaruhkan kebenaran faktual dalam politik
Baca juga: Membajak demokrasi

 

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018