Jakarta (ANTARA News) - Rilis survei Lembaga Survei Indonesia mendapati bahwa trend masyarakat menganggap wajar suap dan gratifikasi meningkat dibandingkan tehun sebelumnya, meskipun mayoritas menilai suap tidak wajar.

Bila 2017, 26 persen responden mengatakan wajar terhadap suap dan gratifikasi, maka pada 2018 meningkat menjadi 34 persen. Sementara yang menganggap tak wajar turun dari 69 persen menjadi 63 persen. Sedangkan tidak tahu atau tidak menjawab 3 persen, demikian survei yang dirilis di Jakarta, Senin.

Sementara itu, untuk kolusi dan nepotisme, mayoritas responden, 55 persen berpendapat tindakan negatif (12 persen menilai sebagai kejahatan, 43 persen tidak etis) dan 39 persen menilai positiif (9 persen menilai tindakan yang perlu dilakukan dan 30 persen tindakan yang normal)

Menurut Peneliti Senior Burhanuddin Muhtadi bahwa korupsi masih dipahami sebagai sesuatu yang terjadi di pusat, melibatkan kasus-kasus besar saja. Sementara suap atau gratifikasi yang dialami warga dalam hubungannya dengan pegawai pemerintah dianggap bukan korupsi.

Koordinator ICW Adnan Topan Husodo mengatakan, hal ini perlu menjadi perhatian. "Bagaimana kita menanamkan budaya antikorupsi," katanya.

Menurut dia, penting bagi bangsa ini terus-menerus memberikan pengertian yang lebih luas terhadap korupsi kepada warga bangsa. Sehingha masyarakat menyadari, bahwa korupsi tidak hanya dalam hubungannya dengan kasus-kasus besar tetapi juga terkait dengan kehidupannya sehari-hari.

Sementara itu, survei LSI dilakukan terhadap 2.000 responden yang berumur 19 tahun atau sudah menikah dengan menggunakan metode multistage random sampling dan margin of error sekitar 2,2 persen.

Baca juga: Survei CSIS: Kepolisian paling rentan terhadap korupsi
Baca juga: LSI: Relasi korupsi dan demokrasi tidak signifikan
Baca juga: Survei LSI: Penilaian korupsi meningkat terus menurun


 

Pewarta: M Arief Iskandar
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018