Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah menilai anggota DPR yang mengajukan uji materiil UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) telah bersikap tidak konsisten dan ambigu. Saat memberi keterangan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menyatakan para pemohon memiliki fungsi legislasi untuk mempunyai kewenangan membuat dan mengesahkan produk undang-undang. "Namun, para pemohon sekarang justru mempersoalkan produk undang-undang itu sendiri," ujarnya. Pemerintah berpendapat, jika terjadi perubahan paradigma berpikir terhadap suatu UU yang telah dibahas dan disahkan bersama antara pemerintah dan DPR, maka seharusnya pemohon sebagai anggota DPR mengajukan pengubahan produk UU tersebut. "Dengan mengajukan uji materiil UU Migas ini, maka sama saja para pemohon ingin membatalkan keputusan yang telah dibuatnya sendiri," kata Purnomo. Pemerintah juga menilai, fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR tidak terhalangi dengan tidak diikutsertakan dalam perjanjian kontrak Migas dengan pihak ketiga. DPR, menurut Pemerintah, masih tetap dapat melakukan fungsi pengawasan melalui mekanisme rapat kerja dan hak untuk bertanya atau interpelasi. Enam anggota DPR, di antaranya Dradjad Wibowo dan Zainal Arifin, mengajukan uji materiil pasal 11 ayat 2 UU Migas karena dinilai merugikan hak konstitusional mereka sebagai anggota DPR. Pasal tersebut mengatur bahwa setiap kerja sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada DPR. Para pemohon menilai pasal itu bertentangan dengan pasal 11 ayat 2, pasal 20A ayat 1 serta pasal 33 ayat 3 dan ayat 4 UUD 1945, karena pasal-pasal dalam UUD tersebut mengatur hak konstitusional anggota DPR untuk ikut memberikan persetujuan atas perjanjian internasional lainnya. Para pemohon sebagai anggota DPR juga mengklaim memiliki hak konstitusional untuk ikut mengawasi pengelolaan kekayaan alam. Pemerintah dalam keterangannya berpendapat perjanjian internasional yang dimaksud dalam pasal 11 UUD 1945 sesuai dengan Konvensi Wina tahun 1969 dan tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional. "Yang digunakan Kalam konvensi Wina adalah `Treaty`, subyek hukumnya adalah negara dan organisasi internasional," ujar Purnomo. Pemerintah berpendapat, perjanjian internasional yang dimaksud adalah kewenangan Presiden sebagai kepala negara dalam kaitannya dengan politik luar negeri dan berhubungan dengan negara lain. Sedangkan kontrak kerja sama dalam bidang Migas, menurut pemerintah, adalah kontrak yang bersifat keperdataan dan tunduk pada hukum perdata, bukan pada hukum internasional.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007