Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsuddin, di Jakarta, Kamis, mengatakan, Kejaksaan Agung (Kejagung) harus diberi waktu untuk pengusutan kasus dugaan penyimpangan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) karena untuk mengusut suatu perbuatan sehingga dapat memenuhi unsur tindak pidana tidak mudah, perlu kecermatan dan ketelitian. Namun demikian, Kejagung jangan goyah dengan banyaknya pro kontra soal pengusutan kasus ini, karena yang harus digarisbawahi adalah pengusutan hanya bagi obligor yang menerima surat keterangan lunas (SKL) melalui proses yang melanggar hukum. "Sepanjang penyaluran penggunaan dana proses MSAA, MRNIA, SKL-nya sesuai aturan hukum, itu tidak ada masalah. Tetapi apabila ditemukan unsur melawan hukum yang berdampak terjadinya dugaan tindak pidana, aparatur pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum harus secara tegas dan nyata menindak," ujarnya. Menurut dia, banyaknya pihak yang belakangan ini menyatakan obligor penerima SKL jangan lagi diproses itu hal wajar, tetapi jangan sampai itu mengganggu obyektivitas pengusutan perkara yang sedang dikerjakan aparat penegak hukum. "Dalam negara demokrasi itu biasa, asal tidak mengganggu normatif yang ada. Yang sedang diusut adalah proses pemberian SKL dan juga tahap penyelesaian di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kalau tidak ada unsur melanggar hukum selesai. Tetapi kalau ada unsur melawan hukum, seperti tindak pidana penggelapan, penipuan, manipulasi, dan korupsi, penegak hukum harus tunjukkan bukti-buktinya,? katanya. Menurut Aziz, karena kasus ini masih dalam tahap penyelidikan, pihaknya memahami bila Kejagung belum menyebut nama-nama obligor yang diduga terlibat. "Hal itu adalah langkah tepat. Ini masih proses penyelidikan, jadi tidak perlu diungkap nama-namanya. Nanti ketika masuk proses penyidikan, itu akan terbuka. Sebab akan ada saksi-saksi yang akan dipanggil untuk tersangka tertentu,? tutur Aziz. Dua obligor BLBI yang diusut Kejagung itu diduga kuat adalah Anthony Salim dan Syamsul Nur Salim, karena data yang dilansir Kejagung pertengahan Juli lalu sesuai dengan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) pada 30 November 2006 lampau. Dalam salinan audit BPK menyebutkan, recovery rate (nilai penjualan) dari aset Salim Group ternyata yang diserahkan ke BPPN hanya 36,77 persen atau hanya Rp19,38 triliun dari Rp52,72 triliun yang seharusnya dia bayar ke negara. Sementara Anthony Salim malah mendapat SKL dari pemerintah, sementara terhadap Sjamsul, berdasar audit BPK itu, dana BLBI yang harus dibayar Rp28,488 triliun, namun setelah dilakukan perhitungan oleh auditor dari Price Waterhouse Cooper (PwC) pada 2000, nilai aset Sjamsul Nursalim hanya Rp1,44 triliun.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007