Jakarta (ANTARA News) - RI dan Singapura masih berpeluang untuk merundingkan kembali kesepakatan kerjasama pertahanan ("defence cooperation agreement"/DCA) yang telah ditandatangani kedua pemerintahan namun kini mengalami kebuntuan. "Masih ada harapan ini akan dirundingkan kembali. Menunggu situasi di Singapura," kata Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono, di kantornya di Jakarta, Jumat. Ia menilai, kebuntuan pembahasan DCA khususnya tentang wilayah latihan Bravo dikarenakan sikap internal Singapura yang masih belum satu kata tentang masa berlaku perjanjian ekstradiksi yang berlaku surut selama 15 tahun. Perjanjian ekstradisi tersebut ditangani bersamaan dengan perjanjian DCA. Hal itu terungkap saat kunjungan Perdana Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yeuw ke Indonesia beberapa waktu silam. Dalam pertemuan informal dengan Menhan Juwono, Lee mengatakan keberatan dengan masa berlaku surut 15 tahun dalam perjanjian ekstradisi karena menyangkut citra Singapura sebagai negara yang bebas kejahatan finansial. "Jika perjanjian ekstradiksi berlaku surut 15 tahun benar-benar diberlakukan, maka mau tidak mau Singapura harus mengakui bahwa dalam kurun 1997-2001 pihaknya menampung dana-dana ilegal dan buronan kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Itu kan berarti mencoreng citra Singapura," tutur Juwono. Karena itu, tambah dia, untuk memacetkan perjanjian ekstradisi, Singapura berupaya agar pembahasan DCA juga macet sehingga kedua kerjasama yang disepakati bersamaan itu, tidak berjalan. "Untuk memacetkan pembahasan kedua kerjasama itu, Singapura mencoba untuk menaikkan posisi tawarnya dalam DCA terutama terkait Area Bravo," ungkap Menhan. Ia mengatakan, kedua pihak masih belum sepakat dalam pembahasan mengenai "Military Training Area" (MTA) atau daerah latihan militer, terutama di Area Bravo. "Indonesia sudah memberikan sejumlah poin terkait itu dan kini kita tinggal menunggu keputusan Singapura," ujar Juwono. Juwono menambahkan, dengan berbagai situasi yang berkembang di Singapura, Indonesia yakin Singapura tetap sepakat untuk melanjutkan perundingan, khususnya yang membahas teknis operasional dan administrasi di Area Bravo sesuai ketentuan pasal 6 DCA bahwa seluruh pembahasan teknis operasional wilayah latihan harus dibicarakan kedua pihak. Tentang kemungkinan kedua perjanjian itu batal dilaksanakan, ia mengatakan hal itu bisa saja terjadi. "Implikasinya jika kedua perjanjian itu batal, bagi kita tidak ada. Karena latihan militer antara angkatan bersenjata kedua negara sudah berlangsung lama meski tanpa payung DCA, dan kalau pun perjanjian ekstradisi jadi diberlakukan tidak sertamerta mengembalikan seluruh aset yang dibawa lari ke Singapura dalam waktu dekat," tuturnya. Juwono menegaskan, seluruh proses perundingan ulang DCA sepenuhnya diserahkan kepada Menteri Luar Negeri (Menlu) kedua negara sebagai ketua juru runding. "Kita serahkan saja kepada Deplu. Dan kami berharap ini dapat segera diselesaikan," ujarnya. Sebelumnya, Indonesia sempat mengancam akan membatalkan DCA jika Singapura terbukti melakukan ratifikasi secara sepihak atas kesepakatan kerjasama yang ditandatangani pada 27 April 2007 tersebut. Juwono mengatakan, kedua negara sepakat untuk meratifikasi kedua kesepakatan kerjasama DCA dan Ekstradisi secara bersamaan dan parelel pada 2008.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007