Bandarlampung (ANTARA News) - Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, menjadi magnet pemberitaan dan perhatian, menyusul terjadi tsunami di pesisir Selat Sunda pada Sabtu (22/12) malam.

Tsunami Selat Sunda itu ditengarai dipicu erupsi (letusan) gunung api Anak Krakatau di dalam laut dengan ketinggian 338 meter dari permukaan laut. Induknya pernah meletus dahsyat tahun 1883 lalu.

Sejumlah korban selamat, warga pesisir Kabupaten Lampung Selatan mengaku, tak ada peringatan dini atau "warning". Peringatan kewaspadaan dini dari pihak berwenang seharusnya disampaikan, saat berpotensi terjadi bencana tsunami di Selat Sunda itu.

Mereka mengaku di malam kejadian sedang bersantai dan ngobrol atau melakukan aktivitas seperti biasanya, tak ada tanda-tanda yang mereka terima atau pemberitahuan akan terjadi bencana hingga mengakibatkan 400 jiwa lebih tewas, termasuk 100 jiwa lebih warga dari Kabupaten Lampung Selatan.

Padahal sebelumnya diketahui Gunung Anak Krakatau dilaporkan terus mengeluarkan letusan (erupsi) dan mengalami peningkatan aktivitas hingga pada Sabtu petang kembali erupsi dengan suara dentumannya terdengar hingga 47 km di kawasan pantai pesisir Pulau Jawa terdekat dengan gunung api ini.

Warga di sekitar pesisir pantai Kabupaten Lampung Selatan, wilayah terdekat dengan gugusan pulau sekitar Gunung Anak Krakatau di Lampung, mengaku juga mendengar letusan itu, bahkan sejumlah warga menyatakan sempat melihat api berwarna merah menyala keluar dari puncak Gunung Anak Krakatau. Namun mereka tak pernah menduga bencana tsunami akan menerjang wilayah mereka.

Tentu saja, saat bencana itu datang, umumnya warga kawasan pesisir menjadi panik.

Mereka khawatir terjadi bencana terutama gelombang pasang tinggi atau tsunami. Informasi ini pun sempat menyebar luas, hingga ke kawasan pesisir Kota Bandarlampung, ibu kota Provinsi Lampung, sehingga warga pesisir di Teluk Lampung pun berhamburan keluar rumah untuk menyelamatkan diri, sejak Sabtu malam hingga Minggu (23/12) dini hari.

Namun, saat itu Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) tetap mengimbau masyarakat di sekitar pesisir pantai Provinsi Lampung, khususnya wilayah selatan tidak perlu khawatir akan terjadi tsunami.

"Kenaikan permukaan air laut yang terjadi Sabtu malam adalah fenomena umum pasang surut maksimum," demikian pernyataan BMKG.

Disebutkan bahwa fenomena umum pasang surut maksimum itu disebabkan karena adanya siklus astronomi tahunan seperti biasa.

Artinya, kondisi itu adalah gejala normal, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir akan terjadi tsunami.

Berdasarkan pantauan peralatan yang dimiliki BMKG Lampung, tidak tercatat adanya gempa di sekitar Provinsi Lampung sebagai salah satu faktor pemicu adanya tsunami. Karena itu, BMKG mengimbau kepada masyarakat di sekitar pesisir pantai untuk tetap waspada dan tenang, sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Warga diimbau segera kembali ke rumah masing-masing dan saling mengingatkan sesama warga agar tidak mudah termakan isu kabar bohong yang menyebar.

BMKG menegaskan, bila diprakirakan akan terjadi tsunami atau ada gempa, pihaknya sebagai institusi resmi pemerintah akan memberikan peringatan dan informasi lebih lanjut.

Warga kawasan pesisir di Lampung Selatan dan Kota Bandarlampung, Sabtu (22/12) malam itu, telah dihebohkan oleh informasi adanya peningkatan pasang dan surut air laut, dan masyarakat menduga ini sebagai gejala tsunami. Bahkan, masyarakat di sekitar Telukbetung, Bandarlampung, berhamburan panik keluar rumah mencari tempat yang dianggap aman, menyikapi isu adanya tsunami.

Menurut warga sekitar Gudang Lelang, mereka mendapati air laut surut tiba-tiba, meskipun tidak merasakan guncangan akibat gempa sekitar pukul 22.00 WIB. Sebagian warga Gudang Lelang, Kelurahan Bumi Waras, Bandarlampung bahkan sudah mengosongkan rumah kediaman mereka untuk naik ke daerah yang lebih tinggi seperti di kawasan sekitar Mapolda Lampung dan sekitarnya.

Warga Lempasing dan Panjang di Bandarlampung yang juga dekat dengan perairan laut, sebagian sudah mengungsi ke rumah-rumah saudaranya di daerah yang lebih tinggi.

Keterangan dari warga sekitar, mereka sempat menerima kabar dari Kalianda, Lampung Selatan bahwa air laut sudah naik, sehingga mereka keluar rumah untuk menyelamatkan diri bersama keluarga.

Namun, sekitar pukul 23.00 WIB, setelah ada informasi dari pihak BMKG bahwa kenaikan air laut ini hanya fenomena pasang air laut, warga yang berhamburan keluar karena terdampak isu adanya tsunami itu, mulai pulang meski masih ada pula yang belum berani pulang dan memilih mengungsi ke tempat kerabat mereka yang dinilai lebih aman.

BMKG menjelaskan, pada 22 Desember 2018 pukul 22.00 telah terjadi kenaikan air laut hingga mencapai permukiman rumah warga di sejumlah kawasan pesisir Lampung.

Berdasarkan data perkiraan pasang surut air laut dari Dishidros, pasang maksimum air laut terjadi pada pukul 18.00 - 19.00 WIB dengan tinggi hingga 1,5 meter.

BMKG menyampaikan pula analisis penyebab terjadi gelombang air laut pasang karena posisi terdekat antara bumi dan bulan yang akan terjadi pada tanggal 24 Desember 2018 atau yang disebut Perigee.

Pasang laut purnama (spring tide) terjadi ketika bumi, bulan dan matahari berada dalam suatu garis lurus. Pada saat ini akan dihasilkan pasang naik yang sangat tinggi dan pasang surut yang sangat rendah.

Pasang laut purnama ini terjadi pada saat bulan baru dan bulan purnama, demikian BMKG Lampung.


Erupsi Anak Krakatau

Kementerian ESDM, Badan Geologi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau menyampaikan pula, telah terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda pada Sabtu, 22 Desember 2018 pukul 17.22 WIB dengan tinggi kolom abu teramati sekitar 1.500 meter di atas puncak (sekitar 1.838 meter di atas permukaan laut).

Dalam pernyataannya, berdasarkan laporan tim Kementerian ESDM, Badan Geologi, PVMBG Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau, menunjukkan kolom abu teramati berwarna hitam dengan intensitas tebal condong ke arah timur laut dan timur.

Erupsi ini terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 58 mm dan durasi sekitar 5 menit 21 detik.

Terdengar suara dentuman dan dirasakan getaran di Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau (kaca dan pintu pos bergetar).

Saat ini Gunung Anak Krakatau berada pada Status Level II (Waspada) dengan rekomendasi masyarakat/wisatawan tidak diperbolehkan mendekati kawah dalam radius 2 km dari kawah.

Belakangan ternyata diketahui dan dipastikan, letusan Gunung Anak Krakatau itulah yang lantas memicu kejadian runtuhan material gunung ini ke dalam laut, sehingga memicu gelombang tinggi yang menimbulkan tsunami Selat Sunda.

Dampak tsunami Selat Sunda itu, ratusan warga di kawasan pesisir Lampung dan Banten tewas, ribuan terluka, dan ratusan masih hilang. Rumah-rumah warga di kawasan pesisir dua provinsi itu pun hancur dihantam gelombang tsunami.

Namun dalam kejadian bencana tsunami Selat Sunda ini, kenapa pihak berwenang sebelumnya tak mengeluarkan peringatan dini ancaman tsunami itu? Apakah peralatan pendukung tak berfungsi atau ada sebab lainnya?

Menurut Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sistem BMKG saat ini hanya mengeluarkan peringatan dini tsunami untuk aktivitas tektonik (proses gerakan pada kerak bumi yang menimbulkan lekukan, lipatan, retakan, patahan sehingga berbentuk tinggi rendah atau relatif pada permukaan bumi), dan jika ada kemungkinan tsunami akibat aktivitas vulkanik (gunung api), maka itu adalah wewenang rekan kami di Badan Geologi PVMBG.

Dia menyatakan, jika terbukti tsunami ini akibat aktivitas vulkanik maka ini adalah tsunami akibat vulkanik pertama semenjak Indonesia merdeka, dan kejadian ini termasuk langka, sehingga BMKG akan duduk bersama dengan para pakar untuk membahas hal ini bersama-sama.

Pihak BMKG juga sempat meluruskan informasi bahwa deteksi dini fenomena erupsi gunung api dan dampaknya adalah wewenang otoritas Badan Geologi (khususnya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana/PVMBG), bukan wewenang BMKG.

BMKG juga menegaskan bahwa sampai saat ini belum ada yang bisa memprediksi atau metode yang bisa digunakan untuk menentukan kapan akan terjadi gempa dan juga tsunami, sehingga masyarakat diminta untuk tidak menelan berita yang beredar dan tidak menyebarluaskannya.

Setelah sempat terjadi simpangsiur informasi terkait kepastian telah terjadi hanya berupa gelompang pasang maksimum atau sudah terjadi tsunami di Selat Sunda itu, belakangan setelah melihat fakta dan dampak di lapangan, akhirnya para pihak menyatakan benar telah terjadi tsunami di pesisir Selat Sunda pada Sabtu (22/12) malam itu.


Bencana Multievent

Berkaitan bencana tsunami Selat Sunda yang menerjang kawasan pesisir Lampung dan Banten, Kemenko Maritim, BMKG, Badan Informasi Geospasial, BPPT, dan LIPI, serta Badan Geologi, telah menyampaikan pernyataan pers bersama.

Isi siaran pers bersama itu adalah bencana di Selat Sunda saat ini merupakan bencana multievent yang diakibatkan oleh gelombang tinggi, tsunami, erupsi gunung api, dan longsor tebing kawah Gunung Anak Krakatau yang memicu tsunami.

BMKG menyatakan siap untuk memback up peringatan dini tsunami akibat langsung atau pun tidak langsung dari erupsi gunung api yang dipantau Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (Badan Geologi), sehingga BMKG perlu untuk mendapat akses data gempa-gempa vulkanik yang ada di sistem peringatan dini Pusat Vulkanologi.

Pada tanggal 23 Desember 2018, pukul 18.30 sampai dengan 21.00 WIB telah dilaksanakan rapat koordinasi dengan agenda pembahasan kejadian tsunami tanggal 22 Desember 2018 di Selat Sunda, dengan peserta rapat Kemenko Maritim, BMKG, BIG, BPPT, LIPI, dan Badan Geologi ESDM, berdasarkan data-data yang dihimpun dihasilkan kesepakatan bersama, yaitu BMKG memperoleh data tide-gauge pada 22 Desember 2018 sekitar pukul 22.00 WIB, 4 tide gauge di Selat Sunda mencatat adanya anomali permukaan air laut yang diyakini sebagai tsunami.

Tsunami yang terjadi bukan disebabkan oleh gempa bumi tektonik, namun akibat longsor (flank collapse) di lereng Gunung Anak Krakatau akibat erupsi Gunung Anak Krakatau.

Kejadian longsor lereng Gunung Anak Krakatau tercatat di sensor seismograf BMKG di Cigeulis Pandeglang (CGJI) pada pukul 21.03 WIB, juga beberapa sensor di Lampung (LWLI, BLSI), Banten (TNG/TNGI, SBJI), Jawa Barat (SKJI, CNJI, LEM) .

Hasil analisa rekaman seismik (seismogram) dari longsoran lereng Gunung Anak Krakatau setelah dianalisa oleh BMKG setara dengan kekuatan MLv=3,4, dengan episenter di Gunung Anak Krakatau.

Faktor penyebab lepas material di lereng Gunung Anak Krakatau dalam jumlah banyak adalah tremor aktivitas vulkanik dan curah hujan yang tinggi di wilayah tersebut.

Bukti-bukti yang mendukung bahwa telah terjadi longsoran di lereng Gunung Anak Krakatau sebagai akibat lanjut dari erupsi Gunung Anak Krakatau yaitu deformasi Gunung Anak Krakatau berdasarkan perbandingan citra satelit sebelum dan sesudah tsunami yang memperlihatkan 64 ha lereng Barat Daya Gunung Anak Krakatau runtuh, curah hujan tinggi pada periode waktu yang berdekatan dengan tsunami, model inversi 4 tide-gauge yang memperlihatkan bahwa sumber energi berasal dari Selatan Anak Krakatau dari analisa Badan Geologi, riset BPPT dan Universitas Blaise Pascal, Prancis yang dipublikasikan pada jurnal internasional.

Tindak lanjut direkomendasikan untuk memasang tide-gauge di Kompleks Gunung Anak Krakatau (BIG), survei geologi kelautan dan batimetri di Kompleks Gunung Anak Krakatau (Badan Geologi, BPPT, LIPI); konfirmasi dari citra satelit resolusi tinggi (LAPAN) perlu cipta optik, survei udara dengan drone (BPPT), data GPS dan data pasut (BMKG, BIG, Pushidrosal, dan industri di sekitar kawasan).

Kini Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda menjadi sorotan dan perhatian. Padahal sebelumnya pihak Badan Antariksa Nasional AS (NASA) juga telah menyatakan memantau dan mengidentifikasi adanya aktivitas "luar biasa" terjadi pada Gunung Anak Kakatau beberapa waktu lalu.

PVMBG sebelumnya juga terus menerus melansir informasi aktivitas kegempaan Gunung Anak Krakatau ini.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung, Minggu (23/12) pagi, melakukan konferensi pers berkaitan dengan aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau, di Selat Sunda, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung.

Kepala PVMBG Kasbani menjelaskan Gunung Anak Krakatau terletak di Selat Sunda adalah gunung api strato tipe A dan merupakan gunung api muda yang muncul dalam kaldera, pascaerupsi paroksimal tahun 1883 dari kompleks vulkanik Krakatau.

Aktivitas erupsi pascapembentukan dimulai sejak tahun 1927, pada saat tubuh gunung api masih di bawah permukaan laut. Tubuh Anak Krakatau muncul ke permukaan laut sejak tahun 2013.

Sejak saat itu dan hingga kini Gunung Anak Krakatau berada dalam fasa konstruksi (membangun tubuhnya hingga besar).

Saat ini Gunung Anak Krakatau mempunyai elevasi tertinggi 338 meter dari muka laut (pengukuran September 2018). Karakter letusannya adalah erupsi magmatik yang berupa erupsi eksplosif lemah (strombolian) dan erupsi epusif berupa aliran lava.

Pada tahun 2016 letusan terjadi pada 20 Juni 2016, sedangkan pada tahun 2017 letusan terjadi pada tanggal 19 Februari 2017 berupa letusan strombolian.

Tahun 2018, kembali meletus sejak tanggal 29 Juni 2018 sampai saat ini berupa letusan strombolian.

Letusan pada tahun 2018, precursor letusan 2018 diawali dengan muncul gempa tremor dan peningkatan jumlah gempa embusan dan low frekuensi pada tanggal 18-19 Juni 2018. Jumlah gempa embusan terus meningkat dan akhirnya pada tanggal 29 Juni 2018 Gunung Anak Krakatau meletus.

Lontaran material letusan sebagian besar jatuh di sekitar tubuh Gunung Anak Krakatau atau kurang dari 1 km dari kawah, tetapi sejak tanggal 23 Juli teramati lontaran material pijar yang jatuh di sekitar pantai, sehingga radius bahaya Gunung Krakatau diperluas dari 1 km menjadi 2 km dari kawah.

Aktivitas terkini, tanggal 22 Desember 2018, seperti biasa hari-hari sebelumnya, Gunung Anak Krakatau terjadi letusan. Secara visual, teramati letusan dengan tinggi asap berkisar 300-1.500 meter di atas puncak kawah.

Secara kegempaan, terekam gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm). Pada pukul 21.03 WIB terjadi letusan, selang beberapa lama ada info tsunami.

Pertanyaannya, apakah tsunami tersebut ada kaitannya dengan aktivitas letusan, hal ini masih didalami, karena ada beberapa alasan untuk bisa menimbulkan tsunami, yaitu saat rekaman getaran tremor tertinggi yang selama ini terjadi sejak bulan Juni 2018 tidak menimbulkan gelombang terhadap air laut bahkan hingga tsunami.

Material lontaran saat letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunung api masih bersifat lepas dan sudah turun saat letusan ketika itu.

Untuk menimbulkan tsunami sebesar itu perlu ada runtuhan yang cukup masif (besar) yang masuk ke dalam kolom air laut, dan untuk merontokkan bagian tubuh yang longsor ke bagian laut diperlukan energi yang cukup besar, ini tidak terdeteksi oleh seismograf di pos pengamatan gunung api.

Selain itu, PVMBG menyatakan masih perlu data-data untuk dikorelasikan antara letusan gunung api dengan tsunami.

Potensi bencana erupsi Gunung Anak Krakatau, peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) menunjukkan hampir seluruh tubuh Gunung Anak Krakatau yang berdiameter sekitar 2 km merupakan kawasan rawan bencana.

Berdasarkan data-data visual dan instrumental potensi bahaya dari aktivitas Gunung Anak Krakatau saat ini adalah lontaran material pijar dalam radius 2 km dari pusat erupsi. Sedangkan sebaran abu vulkanik tergantung dari arah dan kecepatan angin.

Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis data visual maupun instrumental hingga tanggal 23 Desember 2018, tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau masih tetap Level II (Waspada).

Sehubungan dengan status Level II (Waspada) tersebut, direkomendasikan kepada masyarakat tidak diperbolehkan mendekati Gunung Anak Krakatau dalam radius 2 km dari kawah.

Masyarakat di wilayah pantai Provinsi Banten dan Lampung diminta tetap tenang dan jangan mempercayai isu-isu tentang erupsi Gunung Anak Krakatau yang akan menyebabkan tsunami, serta dapat melakukan kegiatan seperti biasa dengan senantiasa mengikuti arahan BPBD setempat.

Hingga Selasa (25/12) bersamaan perayaan Natal 2018 ini, Gunung Anak Krakatau masih mengeluarkan asap hitam dengan intensitas tebal di atas puncaknya sepanjang pengamatan Senin (24/12) hingga Selasa dini hari ini.

Peningkatan aktivitas Gunung Anak Krakatau saat ini, sehingga Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM melalui laporan dari Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, Kabupaten Lampung Selatan mengingatkan masyarakat atau wisatawan tidak diperbolehkan mendekati kawah dan kawasan Gunung Anak Krakatau dalam radius 5 km dari kawahnya, sejak Kamis (27/12).

Menurut Deny Mardiono, Staf Kementerian ESDM, Badan Geologi, PVMBG Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau dalam pernyataannya, Kamis siang, saat ini dari pengamatan periode 27 Desember 2018, pukul 06.00 sampai dengan 12.00 WIB, disimpulkan tingkat aktivitas Gunung Anak Krakatau Level III (Siaga).

Semula level Gunung Anak Krakatau adalah waspada (Level II).

Karena itu, direkomendasikan masyarakat/wisatawan tidak diperbolehkan mendekati kawah dalam radius 5 km dari kawah.

Petugas pemantau gunung api itu juga meminta warga tidak berkegiatan dalam radius lima kilometer dari Gunung Anak Krakatau, menyusul peningkatan aktivitas gunung api itu dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III).

"Rekomendasinya masyarakat jangan mendekat dalam radius lima kilometer dari Gunung Anak Krakatau," kata Andi Suardi, Kepala Pos Pantau Gunung Anak Krakatau di Desa Hargo Pancuran, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, saat dihubungi dari Lampung Selatan, Kamis.

Namun, dia mengimbau warga tetap tenang dalam menjalankan aktivitas keseharian sambil memantau informasi mengenai aktivitas gunung api itu.

"Masyarakat silakan beraktivitas biasa, tetap tenang namun waspada. Jika butuh informasi hubungi Badan Penanggulangan Bencana setempat atau hubungi kami," katanya lagi.

Andi menjelaskan bahwa sampai saat ini aktivitas Gunung Anak Krakatau belum berubah, masih mengalami gempa tremor. "Masih seperti kemarin, tremor masih terekam, untuk visual sementara ini berkabut," ujarnya.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Lampung Selatan I Ketut Sukerta juga meminta warga mewaspadai peningkatan status Gunung Anak Krakatau.

Hingga kini, warga di kawasan pesisir Lampung masih mengalami trauma menghadapi bencana tsunami Selat Sunda, Sabtu (22/12) malam. Apalagi korban yang kehilangan anggota keluarga atau mengalami peristiwa nyaris merenggut nyawanya ini. Mereka juga masih terus merasa was-was. Apalagi, entah siapa yang melakukannya, terus saja tersebar informasi akan adanya gempa, tsunami dan gelombang tinggi di Selat Sunda.

Informasi itu memicu warga di pesisir Lampung, seperti Kabupaten Lampung Timur, Lampung Selatan, dan Kota Bandarlampung masih saja terus keluar mengungsi dari rumah mereka, untuk menyelamatkan diri dari kemungkinan terjadi lagi bencana alam dimaksud.

Indonesia termasuk negeri bencana, karena dikelilingi kawasan gunung api (Ring of Fire) dan seismik sesar/patahan gempa di perut bumi yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi gempa maupun letusan gunung api, maupun berdampak menimbulkan tsunami, sehingga kewaspadaan dini dan tanggap bencana bagi masyarakat di wilayah rawan bencana masih harus diperkuat lagi.

Selain itu, institusi pemandu bagi warga dalam kondisi darurat, seperti dialami Sabtu malam hingga saat ini, semestinya sudah ada standard operasional prosedur (SOP) baku untuk menanganinya secara cepat dan tepat pada waktunya.

Semestinya, sudah disiapkan institusi dan personel dengan peralatan pendukung diperlukan saat terjadi potensi bencana alam seperti itu. Mustinya sudah ada institusi segera berada di garis depan saat diperlukan warga, agar tidak lagi terombang-ambing oleh isu dan informasi tidak jelas yang membingungkan.

Kita semua berharap, jangan sampai terjadi lagi saling lempar tanggung jawab atau kurang peduli para pihak berwenang, di tengah ancaman bencana alam, gempa bumi, gunung meletus, banjir, longsor maupun tsunami setiap saat berpotensi terjadi di negeri kita ini.

Kita semua harus belajar dari peristiwa alam sekitar kita, belajarlah dari tsunami di Selat Sunda, dan belajar pula dari fenomena Gunung Anak Krakatau.

Baca juga: BPBD Lampung Selatan jemput warga yang bertahan di Pulau Sebesi
Baca juga: BMKG imbau warga waspadai peningkatan aktivitas Anak Krakatau
Baca juga: Tsunami ratakan dua desa di lampung selatan

 

Pewarta: Budisantoso Budiman
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018