Oleh M. Irfan Ilmie Surabaya (ANTARA News) - Jika ingin menjadi pengasuh pondok pesantren salaf, maka seseorang setidaknya mampu menguasai kitab kuning. Ini merupakan syarat tidak tertulis untuk menjadi pengasuh pondok pesantren salaf. Sampai sekarang memang belum ada kajian sejarah mengenai asal-muasal kitab kuning. Namun banyak naskah para ulama pasca Khulafaur Rasyidin berkuasa ditulis dengan menggunakan Bahasa Arab tanpa harakat. Kebanyakan naskah para ulama dari berbagai disiplin ilmu itu ditulis di atas kertas kuning sehingga orang sering menyebutnya sebagai "Kitab Kuning" atau "Kitab Gundul" karena memang tidak ada harakat layaknya Kitab Al Quran yang beredar di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk bisa membaca kitab kuning berikut arti harfiah kalimat per kalimat agar bisa dipahami secara menyeluruh, dibutuhkan waktu lama. Rata-rata para pendiri pondok pesantren salaf di seantero Pulau Jawa belajar membaca kitab kuning ini secara khusus dengan rentang waktu yang cukup lama dalam bilangan belasan atau bahkan puluhan tahun. Untuk memahami isi kitab kuning, seseorang harus menguasai Tata Bahasa Arab. Biasanya para santri di lingkungan pondok pesantren salaf membutuhkan waktu dua sampai empat tahun untuk mendalami Tata Bahasa Arab mulai dari Ilmu Nahwu, Ilmu Shorrof, sampai pada tingkatan lebih tinggi lagi seperti Ilmu Balaghah dan Ilmu Mantiq. Setelah ilmu-ilmu tersebut dikuasai bukan berarti seorang santri akan dengan mudah menerjemahkan kitab-kitab kuning karya para ulama salaf. Di luar jam pelajaran sekolah diniyah di pondok pesantren, para santri menyisihkan waktunya untuk mengaji kitab kuning kepada pengasuh pondok atau ustadz. Bahkan pada saat Ramadhan yang mestinya libur panjang setelah ujian akhir tahun, digunakan para santri salaf dengan mengaji kitab kuning dengan cara kilatan. Disebut kilat karena pelaksanaan pengajian kitab kuning dikebut selama satu bulan Ramadhan. Jika kitab terdiri dari dua sampai empat juz (satu juz bisa terdiri dari 300 sampai 400 halaman), maka pengajian dilaksanakan mulai ba`da shubuh sampai pukul dua dinihari berikutnya agar tamat dalam waktu satu bulan. Metode pengajiannya pun sesuai tradisi salaf, yakni pengasuh atau ustadz membaca naskah Bahasa Arab lengkap dengan mengartikan sesuai bahasa daerah tempat pondok itu berada, sementara santri mendengarkan sambil membubuhkan arti kata bahasa daerah di setiap kalimat. Di kalangan santri salaf cara memberikan makna seperti itu disebut dengan istilah "ngesahi". Alat tulis yang digunakan adalah mata pena dan tinta China yang sudah dicairkan dengan serat pohon pisang lalu ditampung ke dalam sebuah wadah yang terbuat dari kuningan. Zaman telah berubah, sebagian tradisi salaf itu pun mulai banyak di tinggalkan kalangan santri. Alat tulisnya tidak lagi mata pena yang dicelupkan pada tinta China, namun sudah menggunakan pulpen bermata kecil yang biasanya banyak digunakan para arsitektur. "Memang harganya relatif mahal, tapi bisa tahan lama seperti tinta China yang prosesnya butuh waktu lama," kata Syamsul Huda, salah seorang santri di Ponpes Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur. Oleh sebab itu, di sekitar ponpes yang kini memasuki usia ke-97 itu banyak ditemukan tempat-tempat reparasi alat tulis buatan Jerman itu. "Soalnya kalau jatuh sedikit, mata pena bisa langsung bengkok dan macet. Kalau diberikan mata pena saja harganya hampir sama dengan beli baru, makanya lebih baik direparasi saja," katanya. Ini baru sebatas alat tulis yang sudah mengalami perubahan. Belum lagi ada sebagian pondok pesantren yang terpaksa mendengar rekaman suara pengasuh. Hal ini sangat beralasan, mengingat tidak setiap waktu para pengasuh yang kebanyakan sudah berusia udzur itu cukup kuat mengisi secara penuh jadwal pengajian mulai dari pagi sampai larut malam dengan waktu istirahat, saat salat berjamaah lima waktu dan buka puasa serta salat tarawih. Kemudian yang sekarang menjadi tren adalah kitab kuning dengan dilengkapi makna Bahasa Jawa. Kalangan santri salaf menyebutnya dengan "Kitab bima`na Petuk" lantaran kitab kuning bermakna ini dipopulerkan oleh Pondok Pesantren Hidayatut Thullab di Dusun Petuk, Desa Puhrubuh, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Sudah hampir 15 tahun ini ponpes yang berada di kaki Gunung Wilis itu mampu menyita perhatian publik salaf karena gagasannya mencetak kitab kuning dengan dilengkapi makna Bahasa Jawa itu telah memberikan kemudahan bagi santri salaf. Kitab bima`na Petuk itu tidak hanya dijual di Pulau Jawa saja. "Tapi kami juga telah memenuhi permintaan sejumlah pondok pesantren di Lampung, Palembang, Pontianak, bahkan sampai Mataram," kata Salim Miftahul Hujjaj, selaku pengelola Koperasi Ponpes Hidayatut Thullab yang menjadi distributor tunggal "Kitab bima`na Petuk". Menurut dia, dalam sehari omzet penjualan kitab tersebut telah mencapai angka Rp1 juta. Sedang pada saat menjelang puasa dan menjelang tahun ajaran baru yang biasanya jatuh setiap bulan Syawal omzetnya meningkat bisa mencapai Rp3 juta sampai 4 juta per hari. Sampai saat ini sudah ada sekitar seratus judul naskah kitab kuning yang telah dilengkapi makna Bahasa Jawa. Salim mengungkapkan, awal mencetak kitab bermakna itu iseng belaka. Kitab kuning milik beberapa orang santri yang sudah penuh makna hasil pengajian selama bertahun-tahun tersebut diperbanyak di sebuah perusahaan percetakan di Mojokerto. Kemudian kitab kuning cetakan bermakna itu dijual di kalangan santri Ponpes Hidayatut Thullab. Perlahan tapi pasti, kitab kuning yang kemudian disebut dengan "Kitab bima`na Petuk" itu mendapat perhatian dari kalangan santri salaf di berbagai daerah. Lalu timbul pertanyaan, apakah dengan beredarnya "Kitab bima`na Petuk" para santri sudah tidak perlu lagi mengaji dalam waktu yang lama? Sebagian besar kalangan santri salaf mengaku masih perlu mengaji sebagai media "tabarukan" atau ajang untuk mendapatkan berkah dari pengasuh atau ustadz yang membacakan kitab tersebut. "Kitab bima`na Petuk ini hanya sebagai muqabalah (perbandingan) antara makna yang tertera di dalam kitab dan makna yang dibacakan pengasuh," kata Nabil Harun, pengurus Ponpes Lirboyo, Kota Kediri. Selain itu, lanjut pria asal Temanggung, Jateng itu, dengan adanya "Kitab bima`na Petuk", seorang santri tidak perlu lagi susah-susah mencari temannya untuk membaca ulang karena tertinggal atau ketiduran saat pengajian berlangsung. Demikian halnya dengan Luqman Hakim, alumni santri Ponpes Al Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Tengah, yang tetap menjadikan "Kitab bima`na Petuk" sebagai referensi di setiap acara pengajian yang dipimpinnya di Surabaya dan Pasuruan itu. "Tidak semua jadwal pengajian dulu bisa saya ikuti di pondok. Kitab Petuk yang saya beli biasanya kitab yang belum atau tidak pernah saya ikuti pengajiannya," katanya beralasan. Menurut dia, keberadaan "Kitab bima`na Petuk" bukan berarti santri akan malas belajar. Kendati sudah ada maknanya, tapi bukan berarti orang awam akan dengan mudah bisa membacanya. "Untuk membaca Kitab Petuk, seseorang tetap harus paham ilmu Tata Bahasa Arab, karena tulisan yang tertera di bawah tulisan Arab hanya berupa simbol dan arti kata yang jarang didengar," katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007