Ketersediaan kayu dan harga yang mahal adalah persoalan dalam pembuatan kapal pinsisi di Bulukumba (Sulsel)
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Harian Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (Iskindo) Moh Abdi Suhufan menyatakan saat ini ada persoalan kian mahalnya keterbatasan bahan baku dan beban biaya produksi Pinisi, kapal tradisional khas dari Sulawesi.

"Ketersediaan kayu dan harga yang mahal adalah persoalan dalam pembuatan kapal pinsisi di Bulukumba (Sulsel). Pembuatan pinisi membutuhkan bahan baku kayu yang seharusnya diperoleh dari dalam Bulukumba, sayangnya meski mempunyai lahan hutan yang masih relatif luas, namun tidak banyak pihak yang tertarik membudidayakan kayu seperti bitti (pembuat pinisi) karena lama tumbuh," kata Moh Abdi Suhufan di Jakarta, Rabu.

Berdasarkan informasi dari ensiklopedia dunia maya Wikipedia, Pinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan tepatnya dari Desa Bira, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba. 

Disebutkan pula bahwa Pinisi sebenarnya merupakan nama layar. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau.

Menurut Abdi, karena bahan baku kayu yang sulit dan mahal, kini banyak pekerja pinisi yang pergi meninggalkan Bulukumba menuju Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. 

"Perlu ada program nasional atau Provinsi Sulawesi Selatan yang mendukung ketersediaan bahan baku kayu yang diperoleh dari budidaya dan penyediaan lahan hutan di wilayah seperti Bulukumba, Sinjai dan Selayar," paparnya.
 
Berdasarkan keterangan Cabang Dinas Kehutanan Bulukumba diperoleh informasi bahwa potensi hutan rakyat di Bulukumba seluas 21.843 hektar sementara di Sinjai 8.686 hektar dan Selayar ada 15 ribu hektar. 

Solusi lain, lanjutnya, adalah meminta blok di KPH Kehutanan, sebab ada sekitar 600 ribu hektar di Sulawesi Tenggara yang tidak digunakan dan ini bisa dijadikan lokasi penanaman kayu untuk pinisi dan ada pula 9.000 hektar di Sulawesi Selatan.

Iskindo, bersama-sama dengan Yayasan Makassar Skalia juga menggelar program Ekspedisi Pinisi Bakti Nusa. Progam ini merupakan kegiatan pelayaran mengelilingi Indonesia dengan menggunakan kapal pinisi selama delapan bulan dari 18 Desember 2018-17 Agustus 2019. 

Pelayaran delapan bulan tersebut akan dibagi dalam 10 trip, di mana pada tiap trip akan mengusung tema pembangunan sebagai fokus kampanye pelayaran pinisi. Pelayaran trip 1 Ekspedisi Pinisi Bakti Nusa menyinggahi 7 titik persinggahan yaitu Makassar-Bulukumba-Pulau Kabaena, Bombana-Teluk Lianabanggai, Buton Tengah-Baubau-Raha-Pulau Saponda-Kendari. 

Abdi, yang juga merupakan Koordinator Ekspedisi Bakti Nusa Moh Abdi Suhufan mengatakan bahwa pelayaran ekspedisi pinisis bakti nusa trip 1 mendapat sambutan luar biasa dari pemerintah daerah dan masyarakat pada titik yang disinggahi. 

"Dalam kegiatan joy sailing yang kami lakukan di Buton Tengah, Baubau dan Raha, masyarakat antusias mengikuti pelayaran singkat tersebut," kata Abdi. 

Bukan hanya pelayaran biasa, dalam joy sailing tersebut diberikan edukasi tentang sejarah maritim dan pinisi, teknik berlayar pendidikan lingkungan dan edukasi kebencanaan.

Baca juga: Ikatan Sarjana Kelautan gelar ekspedisi pinisi peduli Palu-Donggala
Baca juga: Film soal kapal Pinisi digarap untuk tarik wisatawan

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2019