Jakarta (ANTARA News) - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak tiga bencana tak lazim terjadi di Indonesia sepanjang 2018.

Tiga bencana yang menimbulkan korban jiwa besar itu adalah gempa di Nusa Tenggara Barat, gempa dan tsunami ditambah likuifaksi di Sulawesi Tengah hingga tsunami di Selat Sunda. Tak hanya korban jiwa, tiga bencana besar itu juga menimbulkan kerugian ekonomi yang tak sedikit.
   
Permasalahannya siapkah masyarakat dengan bencana? Mengingat Indonesia terletak di antara lempeng Australia, lempeng Eurasia dan lempeng pasifik. Indonesia termasuk dalam cincin api pasifik, yang tidak lain gugusan gunung berapi di dunia yang rawan dengan gempa bumi.
   
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Deni Hidayati mengatakan sebenarnya masyarakat lokal mempunyai tingkat kewaspadaan akan bencana yang tinggi, yang dituangkan dalam bentuk syair maupun dongeng.
   
Contohnya dongeng Smong di Simeulue, Aceh. Pada 1907, terjadi tsunami yang disebut warga setempat sebagai Smong. Kejadian itu membekas di benak masyarakat, sebagai pengingat  ada syair yang bercerita tentang kejadian ini yang  dituturkan  dari  satu generasi ke generasi.

Isi  syairnya menjelaskan jika terjadi gempa segera lari ke atas bukit tanpa perlu melihat laut surut. Tak heran saat gempa dan tsunami pada 2004, korban jiwa di daerah itu sangat sedikit karena masyarakat setempat lari ke atas bukit.
   
"Di Palu sebelum dikenal adanya likuifaksi, masyarakat sudah mengenal dengan Nalodo," kata Deni.
   
Nalodo memiliki makna tanah gembur. Masyarakat asli Palu tidak mau tinggal di atas tanah yang gembur.
  
Menurut Deni, pengetahuan lokal seperti itu perlu diperbaharui atau disesuaikan dengan kejadian bencana terbaru dan latihan terus menerus sehingga akan mudah diingat.
   
Deni juga mengingatkan pentingnya pendidikan siaga bencana baik formal dan nonformal. Pendidikan siaga bencana itu hendaknya tidak dilakukan sesaat saja, namun berkelanjutan.   
   
"Simulasi juga perlu dilakukan berkala, juga ada perlunya lumbung desa untuk mengantisipasi kondisi bencana," cetus perempuan yang menggunakan jilbab itu.
   
Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto mengatakan upaya mengurangi risiko bencana tidak bisa hanya mengandalkan peringatan dini.
  
"Untuk mengurangi risiko dari suatu bencana, tidak hanya dengan mengandalkan peringatan dini dari suatu institusi. Tapi ada beberapa aspek berkaitan yang perlu diperhatikan," ujar Eko.
    
Salah satu aspek yang berkaitan adalah masalah tata ruang. Permasalahan tata ruang, kata dia, merupakan hal yang sangat penting tapi sering diabaikan.

Sejumlah bencana yang memakan banyak korban dikarenakan letak rumah penduduk yang terletak berdekatan dengan pantai.      

Masyarakat yang berada di provinsi peringatan dini, jangan hanya mengandalkan peringatan dini tetapi harus langsung evakuasi mandiri begitu gempa terjadi.
  
Eko menjelaskan satu peringatan dini tidak akan cukup,karena banyak wilayah yang kejadian tsunaminya kurang dari 10 menit.
   
Daerah-daerah itu adalah pulau di sebelah barat Sumatera, pantai barat hingga utara Sulawesipantai utara Bali hingga Nusa Tenggara Timur, pantai selatan Timor Barat,  pantai-pantai Maluku-Maluku Utara dan Papua bagian barat dan utara.

Ketahanan Bencana

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan sebanyak 37.408 sekolah terpapar risiko bencana alam mulai dari letusan gunung api, gempa, banjir, tsunami, dan tanah longsor.
   
Oleh karena itu, dalam waktu dekat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan memberikan dasar-dasar keterampilan hidup kepada siswa, salah satunya mengenai pendidikan ketahanan terhadap bencana.
   
"Pendidikan ketahanan bencana yang dimasukkan ke dalam kurikulum tidak berupa mata pelajaran khusus. Namun satu paket di dalam Penguatan Pendidikan Karakter, dan masih terbuka kalau ada hal tertentu yang masih harus masuk," kata Mendikbud.
  
Kemendikbud telah menyiapkan lima paket modul terkait isu-isu terkini yang perlu diberikan kepada siswa di berbagai jenjang. Di antaranya modul tentang bahaya narkoba, menangkal radikalisme, kesadaran hukum berlalu lintas, pendidikan antikorupsi, dan pendidikan mitigasi bencana.

Kelima modul tersebut tidak akan menjadi mata pelajaran khusus, melainkan akan diintegrasikan ke dalam program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dapat diberikan tidak hanya melalui intrakurikuler, tetapi juga melalui kokurikuler dan ekstrakurikuler.
   
Pendidikan ketahanan bencana akan diintegrasikan dalam kegiatan belajar mengajar tanpa melalui mata pelajaran khusus. Tentunya materi yang disajikan disesuaikan dengan tingkat dan jenjang pendidikan.
   
"Proses belajar mengajar dapat dibikin seluwes mungkin, dengan rentang waktu yang cukup. Guru diberikan keleluasaan untuk mengatur jam belajar lebih luwes. Sehingga penguatan pendidikan karakter yang salah satu paketnya adalah memberikan informasi dan kecakapan hidup tertentu itu dapat berjalan,” tutur Mendikbud.
  
Menurut Muhadjir, pendidikan terkait ketahanan terhadap bencana membutuhkan keterlibatan semua pihak, baik sekolah, orang tua, masyarakat, maupun kementerian/lembaga lain. Sebelumnya Kemendikbud sudah bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam penyusunan modul dan pemberian pelatihan kecakapan hidup.
  
“Sekolah atau guru juga harus ada kerja sama dengan BNPB. Jadi sebenarnya cukup beberapa kali pertemuan. Kita lihat, mana yang cukup dengan pemberian informasi dan pengetahuan, dan mana yang perlu dibekali kecakapan atau keterampilan khusus seperti kebencanaan. Itu (pendidikan kebencanaan) perlu ada kecakapan khusus yang dilatih ke siswa,” kata Mendikbud.
  
Saat ini Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (Balitbangdikbud) bersama dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen) sedang melakukan pemetaan kompetensi dasar pada tema-tema di berbagai jenjang untuk memperkuat materi ketahanan bencana yang ada.
    
Kepala Balitbangdikbud Totok Suprayitno menyampaikan bahwa yang menjadi target pendidikan ketahanan bencana adalah perubahan perilaku. Maka diperlukan praktik, simulasi, dan pembiasaan, bukan sekadar ceramah kepada peserta didik. 

Baca juga: Peneliti: pendidikan siaga bencana mesti sesuai karakteristik lokal
Baca juga: Kak Seto katakan anak-anak Indonesia harus dididik mitigasi bencana



 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019