Jakarta (ANTARA News) - Festival Film Indonesia (FFI) tahun lalu sempat kisruh menyusul aksi pengembalian Piala Citra oleh sejumlah sineas muda, lantaran kemenangan "Ekskul" sebagai film terbaik dianggap mencoreng nama harum perfilman nasional. Namun, FFI sebagai sebuah pesta dan apresiasi karya insan perfilman nasional tidak harus dimatikan, termasuk oleh para pelaku aksi yang kemudian membentuk organisasi Masyarakat Film Indonesia (MFI), antara lain dimotori Mira Lesmana, Riri Riza dan Nia Dinata. "Oh, kita tidak menempatkan diri sebagai pihak yang ingin memboikot. FFI harus tetap ada," kata Mira Lesmana, ketika dijumpai sesaat sebelum tampil berbicara dalam Diskusi, "Jadikan FFI Milik Kita Semua", di Jakarta, Senin. Menurut Mira, FFI merupakan festival tertua dan memiliki kaitan sangat kuat dengan sejarah perfilman di Indonesia, dan karenanya tidak boleh mati melainkan harus terus dilaksanakan. Pendapat senada dikemukakan Riri Riza, yang juga hadir namun meninggalkan tempat saat diskusi baru saja dimulai. "Kita (MFI) tidak anarkis, tidak anti dialog. FFI diselenggarakan oleh BP2N karena UU menuntutnya demikian, Kita siap berdialog kok," kata Riri. Ia juga mengatakan bahwa dirinya maupun anggota MFI yang lain banyak yang terlibat dalam proses persiapan penyelenggaraan FFI, sejak kembali digelar tahun 2004. "Sejak 2004 sampai tahun lalu saya terlibat loh," katanya. Lebih jauh Riri membantah kabar yang menyebutkan bahwa MFI akan segera menggelar festival film tandingan FFI. "Kita belum sampai pada konsep berpikir seperti itu. Kalau ada teman dari MFI yang bicara begitu, itu pribadi," tandasnya. Ketika ditanyakan, "Apakah kehadiran anda dan Mira di sini (acara diskusi yang diselenggarakan FFI/BP2N-red), mewakili MFI?" Sutradara muda yang dikenal paling keras bersuara ketika aksi pemulangan Piala Citra ini dengan tegas mengatakan, "Oh iya!". "Siap mendukung" Penyelenggaraan FFI 2007 yang direncanakan digelar di Pekanbaru, Riau, tampaknya akan didukung oleh MFI. Dalam diskusi, Mira Lesmana mengatakan bahwa pihaknya sudah mengadakan dialog dengan panitia Ad hoc FFI yang dibentuk BP2N, dan melihat adanya idealisme penyelenggaraan yang memenuhi keinginan MFI. "Paling tidak ada tiga idealisme yang kami lihat," katanya. Bentuk ideal penyelenggaraan FFI yang dimaksudkan Mira antara lain, FFI hanya diselenggarakan untuk film bioskop/layar lebar, dibuat oleh dan untuk masyarakat film tanpa campur tangan pemerintah, adanya rencana Pekan Film Nasional sebagai kegiatan pendukung berisi diskusi-diskusi film. Ia juga mengungkapkan harapan-harapan penyelenggaraan FFI dilakukan dengan sistem yang digunakan Academy Award of Motion Picutre (Piala Oscar), misalnya adanya kontribusi asosiasi sutradara untuk menentukan nomine sutradara terbaik, asosiasi aktor untuk menentukan nomine aktor terbaik, dan sebagainya. MFI sendiri, katanya, sampai saat ini sudah menyiapkan pembentukan asosiasi-asosiasi tersebut. Menyinggung soal penghargaan untuk film televisi/sinetron, Mira menyatakan seharusnya dibuat ajang tersendiri atau terpisah dari FFI. "Tidak tertandingi" Kendati cukup banyak ajang festival/kompetisi yang memberi penghargaan kepada insan film dan karyanya, tetapi FFI merupakan festival tertua dan tidak akan bisa ditandingi oleh festival lain yang digelar di Tanah Air. Hal ini tidak kurang diungkapkan Sutradara Garin Nugroho, yang tampil sebagai salah seorang pembicara, selain Produser film Raam Punjabi (RAPI Film). Menurut Garin, FFI adalah festival film nasional yang sudah digelar sejak 1955, dan sampai kapanpun tidak akan pernah ada festival yang muncul kemudian bisa menandinginya. Meski demikian, katanya, semakin banyak festival film diselenggarakan akan semakin baik bagi pertumbuhan perfilman nasional. "Setiap festival, FFI, JIFest, Festival Film Bandung, Festival Film Jakarta, termasuk Festival Film ASEAN yang saya buat di Jogja tahun lalu, masing-masing mempunyai ciri khas, dan tidak satupun yang mampu menampung semua ciri khas yang ada," katanya. Sehubungan itu, Garin berpendapat bahwa idealnya semua festival itu didukung penuh oleh masyarkat film Indonesia. Sebelumnya, Raam Punjabi menyatakan bahwa FFI sekarang ini (mulai 2004) lebih menekankan unsur penilaian pada pembuat film, dan bukan pada karya filmnya. "Dengan demikian, kita melihat bahwa yang dipilih masuk FFI adalah orang-orang yang dinilai idealis. Padahal, setiap pembuat film (produser) mempunyai idealisme. Soal film yang dibuat horor, drama, komedi atau apapun, itu lain soal," demikian Raam. Sementara itu, Ketua Panitia Pelaksana FFI 2007, Wina Armada Sukardi, mengatakan bahwa penyelenggaraan FFI sejak dulu sampai terakhir tahun lalu selalu kontroversial, mulai dari penetapan dua film terbaik dan aktor terbaik, hingga aksi pemulangan Piala Citra terjadi tahun lalu, yang terakhir berbuntut pada pembatalan kemenangan Ekskul sebagai film terbaik. "Untuk mendapatkan format FFI yang ideal, kami membuka diri dan menerima masukan dari berbagai pihak, insan film maupun masyarakat biasa," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2007