Oleh Benny S Butarbutar Tokyo (ANTARA News) - "Saya ingin melihat (jenazah) anak saya saja," kata Michiko (75) dengan suara lirih, tanpa bisa berkata-kata lagi, begitu Toru Yamaji mengakhiri penjelasannya soal kematian yang menimpa putranya, Kenji Nagai (50). Pemimpin Asian Press Front (APF) News Inc. itu juga tidak banyak berkata-kata lagi, setelah menjelaskan bahwa pihaknya akan menjamin pemulangan dan pemakaman Kenji Nagai, wartawan kawakan yang dimilikinya. Yamaji sengaja mengambil penerbangan yang paling pagi ke kota Imabari, di Propinsi Ehime, pulau terkecil dari empat pulau besar Jepang guna menceritakan sendiri secara langsung kabar duka tersebut. "Saya tidak dapat tidur sepanjang malam begitu mengetahui kematian Kenji Nagai. Sampai-sampai tidak bisa mengeluarkan air mata," kata Michiko kepada wartawan yang menemuinya, seperti dikutip Asahi Shimbun, Sabtu. Sementara suami Michiko, Hideo (82) yang duduk disebelahnya hanya tertunduk diam mengenang sang putra. Kesedihan terasa kental menyelimuti keluarga Nagai. Kesedihan memang begitu terasa di Jepang, setelah media massa baik cetak maupun elektronik, Kamis (27/9) lalu memberitakan kematian Kenji Nagai, ketika meliput aksi unjuk rasa menentang pemerintah Myanmar. Pers Jepang bahkan hingga Sabtu (29/9) malam masih terus menanyangkan detik-detik terakhir kematian Nagai yang tewas ditembak tentara Myanmar. Begitu juga foto-foto yang menampilkan tubuh Nagai yang tergeletak di jalanan Yangoon dengan dada bersimbah darah secara berulang-ulang. Tayangan di televisi dan juga foto-foto di media, menyoroti dengan jelas sosok Nagai yang tengah sekarat, namun tetap membidikkan kamera video kecilnya ke arah tentara Myanmar yang sedang membubarkan massa dengan senjata. Rakyat Myanmar turun ke jalan-jalan kota Yangoon memprotes kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM hingga 300 persen. Keputusan itu semakin memberatkan rakyat. Situasi berubah dengan cepat menjadi kerusuhan begitu para biksu muda yang berjumlah ribuan turun ke jalan bergabung bersama rakyat menentang pemerintah. Polisi dan tentara pun melakukan tindakan represif untuk menghentikan gelombang protes. Kegusaran Jepang Begitu mendapatkan kepastian warganya tewas dari Kedubes Myanmar di Tokyo, esok harinya pemerintah Jepang langsung bereaksi. Jepang menyerukan dihentikannya aksi represif dalam menangani pengunjuk rasa. Jepang juga meminta penjelasan lengkap mengenai kematian wartawannya. Juru bicara Kementrian Luar Negeri Jepang Mitsuo Sakaba kepada ANTARA di Tokyo, Sabtu, mengatakan, pemerintah Jepang melihat persoalan ini sebagai sesuatu yang serius, terlebih setelah jatuhnya korban warga Jepang dalam aksi tersebut. Kematian wartawan foto dan jurnalis video APF itu tidak saja membuat kalangan pemerintah gusar, tetapi juga sejumlah anggota parlemen Jepang yang menginginkan berkembangnya demokrasi di Myanmar. Mereka bahkan menyerukan pemerintah Jepang mempertimbangkan kembali program bantuannya yang disalurkan melalui ODA (Official Development Assistance) untuk Myanmar, termasuk menyetop investasi ke negeri tersebut. Namun orang nomor satu di Pemerintahan Jepang, PM Fukuda yang terkenal hati-hati memberi isyarat bahwa meski Jepang sangat keberatan dengan kematian wartawannya, namun harus menyikapiya dengan proporsional. "Sikap resmi Jepang akan ditentukan setelah memperoleh pertimbangan yang matang atas situasi yang berkembang di Myanmar," ujar Fukuda Jumat lalu seperti dikutip NHK. Namun pejabat senior di Kementrian Luar Negeri mengutarakan bahwa jadi tidaknya sanksi atas Myanmar baru bisa dipastkan setelah Jepang bertemu dengan China dan Rusia. Jepang juga mengutus Wakil Menlu Mitoji Yabunaka untuk berangkat ke Myanmar. Keberangkatan Yabunaka untuk melengkapi informasi yang dibutuhkan Jepang sebelum memberikan sanksi. Apalagi setelah mengetahui bahwa Sebagian besar bantuan Jepang untuk Myanmar berupa bantuan kemanusiaan. "Yabunaka akan berangkat Minggu (30/9) ke Myanmar, untuk meminta klarifikasi kematian wartawan Jepang," ujar Sakaba. Menlu Jepang sendiri, Masahiko Koumura telah mengadakan pertemuan dengan Menlu Myanmar Nyan Win di New York, Jumat (28/) dan meminta pemerintah junta militer Myanmar menghentikan segera aksi represif yang dilakukannya dalam menangani demonstrasi damai di Yangoon dan penjelasan selengkapnya atas kematian Nagai. Meliput Hingga Ajal Sementara itu, media massa Jepang menjadikan kematian jurnalis Nagai sebagai berita utama dan tetap hangat hingga akhir pekan. Kematiannya mendapat simpati yang luas. Media menggambarkan sosok Nagai sebagai seorang jurnalis yang sesungguhnya. "Dia tetap mengoperasikan kameranya hingga akhir hayatnya," demikian judul berita Yomiuri Shimbun. Kelompok wartawan asing di Jepang yang tergabung dalam Foreign Correspondent`s Club of Japan (FCCJ) mengecam keras tindakan junta militer Myanmar yang mengakibatkan tewasnya pekerja pers sebagai tindakan yang tidak bisa dibenarkan dan meminta dilakukan investigasi atas kematian wartawan Jepang itu. Media juga melaporkan sosok Nagai yang dikenal sebagai pembela hak asasi manusia dan prodemokrasi. Pers Jepang bahkan menganggapnya sebagai pahlawan demokrasi. Keberadaan media massa di Jepang memang terkait erat dengan proses demokrasi yang dianut Jepang. Pers menjadi pilat keempat dalam mengawal demokrasi yang berlangsung di Jepang. Jurnalis yang pernah meliput berbagai peristiwa konflik di Timur Tengah dan Asia itu akhirnya tewas diujung peluru aparat militer Myanmar yang disebut-sebut anti dengan pers asing. Kini keinginan keluarga Nagai, tinggal satu, seperti yang diutarakan Ibunya, Michiko, yakni melihat wajah Nagai untuk terakhir kalinya sebelum dimakamkan. Michiko, yang menderita penyakit di kakinya, sebelumnya sempat bersikukuh ingin terbang ke Yangon untuk membawa pulang mayat anaknya, namun Toru Yamaji, pemimpin tempat Nagai bekerja, menahannya karena perkembangan situasi yang membahayakan keselamatan jiwanya. Baik Hideo dan Michiko pun akhirnya setuju untuk menjemput jenasah Nagai di Tokyo. Kondisi Hideo sendiri memang tidak memungkinkan, karena selain menderita penyakit, ia tidak bisa berjalan tanpa menggunakan tongkatnya. "Saya tidak bisa berpikir apa-apa lagi. Tetapi kematian Nagai memang sangat disesalkan," ujarnya Hideo, sambil mengenang pertemuan terakhir dengan Nagai tiga tahun lalu, saat puteranya itu berkunjung ke Imabari.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007