Denpasar (ANTARA News) - Pariwisata budaya yang dijual untuk para pelancong mancanegara, telah "meninabobokan" orang Bali untuk tidak selektif dalam menerima masukan dari luar. "Pengaruh budaya Barat begitu kuat dirasakan mencengkram Bali. Bersamaan dengan itu, masyarakat hanya berpikir masalah keuntungan semata dalam 'menjual' karya budaya," kata Dr Jean Couteau, budayawan asal Perancis, di Denpasar, Senin. Couteau yang tercatat sejak lama menetap di Pulau Dewata itu menyebutkan orang Bali yang dibuat tidak berkutik oleh dunia pariwisata yang lebih menekankan segi bisnis tersebut banyak diungkap dalam buku "Surat Merah Untuk Bali" yang ditulis Putu Fajar Arcana. Pria asal Negara, Kabupaten Jembrana, Bali bagian barat, itu bahkan secara khusus menyoroti prilaku warga di daerahnya yang begitu saja pandai menjiplak karya tradisi orang lain untuk kepentingan komersial. Orang Bali, seperti yang ditulis Fajar Arcana, tidak lagi puas dengan hanya mereduksi artefak-artefak ritual yang ada di Pulau Dewata untuk dipersembahkan kepada turis, sehingga harus "mencuri" bentuk-bentuk patung milik etnis tertentu. Patung primitif yang telah "dipalsukan" oleh para seniman Bali antara lain milik etnis Papua, Maori, Indian, Dayak dan Timor. Patung warisan suku bangsa lain itu tampak banyak ditiru oleh seniman di daerah Padangbulia, Kabupaten Buleleng, Jasan dan Sebatu, Kabupaten Gianyar. Semua itu, kata Couteau, menirukan Fajar Arcana, dilakukan orang Bali yang telah "dininabobokan" oleh "pariwisata budaya". Buku setebal 250 halaman yang terdiri atas 30 edisi, seluruhnya menyangkut tentang Bali, dan diterbitkan oleh Galang Press Yogyakarta. Fajar Arcana, yang juga wartawan senior Harian Kompas, mengungkapkan penerbit mencetak buku karyanya itu sebanyak 2.000 eksemplar untuk tahap pertama. Penerbitan buku tentang Bali yang ditata secara apik, menggunakan bahasa Indonesia yang mudah dimengerti itu diharapkan mampu mengimbangi buku-buku yang ditulis oleh budayawan dan peneliti asing. Bahkan buku-buku tentang Bali yang ditulis budayawan asing itu dikonstruksi oleh kajian-kajian, analisis peneliti asing. Sebagian hasil kajian itu dilakukan pada masa kolonialisme berkuasa di Indonesia. Pengkajian dan penelitian masa lalu yang sering kali masih dijadikan bahan acuan antara lain Leiferink, R. Goris, Van der Tuuk. Mereka adalah para perestorasi budaya yang dikirim pemerintah Kolonial untuk sebuah proyek "Balinisasi". Proyek tersebut dilakukan untuk "mengadabkan" kebudayaan Bali yang waktu itu dianggap "primitif" oleh Belanda. Fajar Arcana, salah seorang di antara penulis buku yang menetap di luar Pulau Dewata itu, kata Couteau, lewat tulisan dan ulasannya yang jernih dan obyektif, mampu menguak kenyataan tentang Bali kiwari. "Fajar tidak lagi terkooptasi oleh berbagai ikatan tradisi yang begitu kuat tekanannya pada manusia Bali, meski memiliki latar kultural Bali yang kental, namun tidak lagi berada di dalam air untuk menuliskan tentang ikan," ucapnya. Fajar Arcana menambahkan, sebagian besar kajian-kajian dalam buku yang telah diluncurkannya di Denpasar itu, merupakan hasil perjalanan jurnalistik ke berbagai daerah di Tanah Air, bahkan ke sejumlah kota di luar negeri. Berbagai hal yang dijumpai dalam perjalanan itu selalu dibandingkan dengan kondisi Bali terkini, sehingga memunculkan gagasan-gagasan dan renung-renung yang sublim. Munculnya buku "Surat Merah Untuk Bali" terdorong atas keinginan yang dalam untuk mengatikulasikan gagasan-gagasan, realita dan fenomena yang ada di Pulau Dewata dari kacamata orang Bali, ujar Fajar Arcana menambahkan.

Copyright © ANTARA 2007