Jakarta (ANTARA News) - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menolak gagasan partai politik (Parpol) diberi izin mendirikan badan usaha karena akan mengganggu proses demokratisasi. "Kalau Parpol diberi izin mendirikan badan usaha, maka dikhawatirkan proses demokrasi akan terganggu. Proses politik dan demokrasi akan ditentukan berdasarkan perhitungan profitisasi," kata Ketua Fraksi PPP DPR RI Lukman Hakim Syaifuddin di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa malam, terkait pembahasan RUU Parpol di DPR RI. Sebelumnya, Koordinator Pimpinan Kolektif Nasional (PKN) Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) Laksamana Sukardi mengemukakan, berbahaya bila Parpol diberi izin mendirikan badan usaha. Jika usul itu diloloskan DPR, maka akan mengaburkan fungsi DPR sebagai pengawas. Badan usaha yang didirikan Parpol juga berpotensi menjadi perlindungan bagi pengusaha hitam melalui pemberian saham kosong. Persaingan bisnis juga tidak tidak akan berjalan "fair" karena faktor kekuasaan akan ikut menentukan. Lukman Hakim Syaifuddin mengemukakan, salah satu fungsi Parpol adalah mengagresi aspirasi masyarakat. Karena itu, jika Parpol diberi izin mendirikan badan usaha, proses politik hanya akan ditentukan oleh untung-rugi dari sisi ekonomi dan bisnis. "Ini akan melanggar prinsip efisiensi dan transparansi," katanya. Dia mengemukakan, partai politik merupakan elemen yang mengisi komposisi DPR yang memiliki tugas mengawasi badan usaha. Karena itu, akan terjadi kerancuan bila Parpol dan DPR memiliki hak mendirikan badan usaha, namun pada saat yang sama juga melakukan pengawasan. Terkait usul Golkar dan Partai Demokrat mengenai azas tunggal untuk Parpol, Lukman mengemukakan, PPP tidak setuju usul tersebut. Bagi PPP, Pancasila sudah final sebagai dasar negara, tetapi bagi Parpol sebaiknya diberi hak untuk menggunakan azas lain yang tidak bertentangan dengan Pancasila. "Penyeragaman justru bertentangan dengan prinsip Pancasila itu sendiri," katanya. Mengenai penentuan calon terpilih anggota legislatif, PPP berpandangan bahwa calon terpilih anggota legislatif sebaiknya tidak lagi didasarkan pada nomor urut. Penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut akan bertentangan demokrasi. Kenyataannya, caleg pada nomor urut pertama tidak perlu bekerja keras karena otomatis akan terpilih bila akumulasi suara yang dikumpulkan memenuhi persyaratan. "Nomor urut di bawahya juga tak akan maksimal bekerja keras karena jungkir balik pun belum tentu dapat kursi," katanya. Karena itu, penentuan calon terpilih sebaiknya berdasarkan suara terbanyak disesuaikan dengan bilangan pembagi di setiap daerah pemilihan (Dapil).(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007