Jakarta, 24/10 (ANTARA) - Sepertiga Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) terinfeksi Tuberkulosis (TB), penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mycrobacterium tuberkulosis. Dokter ahli paru dari Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso dr.Titi Sundari, SpP di Jakarta, Rabu, menjelaskan pula bahwa TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak dan penyebab kematian utama pada kasus infeksi virus dan sindroma merapuhnya kekebalan tubuh (HIV/AIDS). "Sebanyak 40 persen kematian ODHA terkait dengan TB," katanya. Ia menambahkan bahwa TB dan HIV juga berdampak buruk satu sama lain. Infeksi HIV, kata dia, menyebabkan individu rentan terinfeksi TB dan melemahnya sistem kekebalan akibat infeksi HIV merupakan faktor risiko penyebab berkembangnya TB laten menjadi aktif. "Dan sebaliknya infeksi TB juga akan memperburuk kondisi pasien dengan HIV, tingkat kematian ODHA dengan infeksi TB lebih tinggi dibanding ODHA tanpa TB," katanya. Kondisi yang demikian, menurut dia, membuat epidemi HIV menimbulkan masalah besar dalam pemberantasan TB karena penyakit menular seksual ini meningkatkan insiden TB. "Insiden TB di negara dengan prevalensi HIV tinggi naik sampai lima kali lipat," katanya. Lebih lanjut dr. Titi menjelaskan TB telah lama menjadi kedaruratan global dan koinfeksi TB-HIV meningkatkan status kedaruratannya karena kasus TB pada populasi dengan prevalensi HIV tinggi merupakan penyebab utama morbiditas (keparahan) dan kematian ODHA. "Dan yang membuat masalah ini semakin berat, kedua penyakit ini sama-sama menimbulkan stigma dan memerlukan perawatan jangka panjang," katanya serta menambahkan karenanya penanggulangan kedua penyakit tersebut mesti dilakukan secara terpadu. Ia menjelaskan, dalam praktiknya pengobatan HIV dan TB juga sudah mulai dipadukan. "Pasien yang didiagnosis terinfeksi TB akan diobservasi, untuk mengetahui kalau ada perilakunya yang berisiko mengakibatkan infeksi HIV. Deteksi TB juga dilakukan pada pasien TB," katanya. Konsuler HIV di RSPI Sulianti Saroso Edha Barapadang pun mengatakan saat memberikan pelayanan konseling pihaknya juga menyampaikan informasi mengenai tanda-tanda ko-infeksi TB-HIV kepada ODHA supaya kasus tersebut bisa dideteksi dan ditangani sejak dini. "Kami juga memberikan penyuluhan tentang gizi serta etika batuk bagi pasien dengan koinfeksi TB-HIV untuk mencegah penularan," katanya. Titi menambahkan, terapi pengobatan koinfeksi TB-HIV juga dilakukan dengan memperhitungkan status kedua penyakit tersebut pada pasien. Pada kasus ko-infeksi TB pada ODHA dengan CD4 kurang dari 200, obat antiretroviral (ARV) diberikan setelah program pengobatan TB berjalan dua minggu. "Kalau CD4 antara 200-350, ARV diberikan setelah pengobatan TB berjalan dua bulan dan kalau CD4nya lebih dari 350, pengobatan TB dilakukan sampai selesai baru diberi ARV jika diperlukan," katanya. Sementara metode pengobatan TB yang digunakan pada kasus koinfeksi TB-HIV, kata dia, pada dasarnya sama dengan TB tanpa HIV/AIDS yakni dengan program pengobatan jangka pendek dengan pengawasan langsung (Direct Observe Treatment Shortcourse/DOTS) sebagaimana direkomendasikan WHO. Program tersebut meliputi komitmen politik dari pemerintah, deteksi kasus melalui pemeriksaan bakteriologi, perawatan dengan sistem standar dengan pengawasan dan pemberian dukungan bagi pasien, sistem penyediaan obat efektif serta sistem pemantauan dan evaluasi dampak intervensi. Namun, menurut dia, penanganan kasus koinfeksi TB-HIV mesti dilakukan secara berhati-hati karena obat untuk kedua penyakit itu cukup banyak, toksisitas keduanya tumpang tindih dan kemungkinan ada interaksi antara keduanya. "Karena itu dalam beberapa hal pengobatannya dilakukan terpisah," demikian Titi Sundari. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007