Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian konsisten mendukung pengembangan kendaraan listrik rendah emisi atau Low Carbon Emission Vehicle (LCEV) sesuai implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0.

 

“Dalam rangka memperkenalkan program kendaraan ramah lingkungan ini, yang perlu diperhatikan antara lain terkait penerimaan masyarakat terhadap kendaraan electrified vehicle,” kata Airlangga lewat keterangannya diterima di Jakarta, Jumat.

 

Selain itu, lanjut Airlangga, pemerintah juga mengutamakan kenyamanan berkendara, infrastruktur pengisian energi listrik, rantai pasok dalam negeri, adopsi teknologi dan regulasi.

 

Menurut Airlangga, dukungan lain yakni kebijakan baik fiskal maupun nonfiskal agar kendaraan listrik dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tanpa harus dibebani biaya tambahan yang tinggi.

 

Guna mencapai sasaran tersebut, pemerintah telah menyusun strategi untuk mendukung pengembangan LCEV.

 

Upaya itu, di antaranya dukungan insentif fiskal berupa tax holiday atau mini tax holiday untuk industri komponen utama seperti industri baterai, industri motor listrik (magnet dan kumparan motor) melalui PMK Nomor 35 tahun 2018 yang direvisi menjadi PMK Nomor 150 tahun 2018 dan dukungan Tax Allowance bagi investasi baru maupun perluasan.

 

Selanjutnya, Kemenperin mengusulkan super deductible tax sampai dengan 300 persen untuk industri yang melakukan aktivitas research, development, and design (RD&D).

 

Pemerintah juga sedang melakukan harmonisasi PPnBM melalui revisi PP Nomor 41 Tahun 2013 tentang PPnBM Kendaraan Bermotor.

 

“Regulasinya sedang disusun, insentif fiskalnya sudah disetujui oleh DPR. Jadi, ada penurunan pajak maupun PPnBM. Prinsipnya, emisi rendah, PPPnBM-nya rendah,” ujar Airlangga.

 

Sedangkan, lanjutnya, kalau emisinya tinggi, PPnBM juga tinggi. Regulasi ini juga dipersiapkan agar industri otomotif nasional bisa memproduksi kendaraan listrik.

 

Langkah lainnya, mengakselerasi penerapan standar teknis terkait LCEV, usulan pengaturan khusus terkait Bea Masuk dan Perpajakan lainnya termasuk Pajak Daerah untuk mempercepat industri kendaraan listrik di Indonesia, serta ekstensifikasi pasar ekspor baru melalui negosiasi kerja sama PTA (Preferential Tariff Agreement) dengan negara yang memiliki demand tinggi untuk kendaraan bermotor.

 

Apalagi, adanya Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) yang sudah resmi ditandatangani, diyakini mampu membuka lebih lebar peluang memacu ekspor mobil ke Negeri Kanguru.

 

"Pasar yang terbuka itu ditargetkan menjadi primadona ekspor mobil dari Indonesia ke Australia, karena marketnya cukup besar hingga 1,2-1,5 juta kendaraan. Sebab, industrinya di Australia sudah tutup semua. Ini diharapkan, industri otomotif nasional bisa menjajaki, karena salah satu insentif yang diberikan adalah electric vehicle,” paparnya.

 

Sebagai salah satu sektor kampiun dalam Making Industri 4.0, industri otomotif diharapkan mampu membawa perubahan ke arah peningkatan efisiensi di tiap tahapan rantai nilai proses industri sehingga bisa meningkatkan kualitas dan nilai tambah produk.

 

“Dengan mendukung revolusi industri 4.0, kami optimitis akan mampu meningkatkan efisiensi produksi dan daya saing. Terlebih lagi dengan didukung industri tier-1 dan 2 yang cukup banyak, sehingga dapat mendorong pengembangan IKM otomotif,” ungkapnya.

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019