Gorontalo (ANTARA) - Kasus muntaber yang menyerang puluhan warga di dua kecamatan paling barat, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo, yaitu Kecamatan Biau dan Tolinggula, perlu menjadi bahan evaluasi untuk peningkatan sektor kesehatan di daerah itu.

Hal itu dikatakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Fatri Botutihe, yang juga anggota Badan Anggaran yang banyak menyuarakan pada pemerintah daerah untuk lebih fokus meningkatkan sarana dan prasarana di sektor kesehatan.

Di antaranya, peningkatan tenaga dokter dan armada ambulans di setiap puskesmas, khususnya di wilayah-wilayah terjauh atau wilayah perbatasan seperti di Kecamatan Biau dan Tolinggula.

Menurutnya, ada dua hal penting yang perlu dibenahi pemerintah daerah berkaca pada musibah muntaber yang menyebabkan satu balita usia 3,5 tahun meninggal di Kecamatan Biau dan puluhan lainnya harus dirawat inap lebih dari 1x24 jam, serta beberapa di antaranya harus dirujuk untuk penanganan lebih intensif, baik di puskesmas rawat inap terdekat maupun di rumah sakit.

Yang pertama kata Fatri, yaitu upaya cepat dalam penanggulangan penyakit muntaber tersebut.

Zaman dulu kata Fatri, masyarakat menyebut muntaber dengan istilah "penyakit mudah datang pun mudah membawa" yang artinya, muntaber bisa mendera setiap warga dengan cepat dan kapan saja, pun bisa cepat menyebabkan kematian.

Maka untuk kasus muntaber massal di Kecamatan Biau dan Tolinggula, perlu dilakukan penanganan cepat dan itu berhasil dilakukan oleh pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan, didukung Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo, Polda Gorontalo serta beberapa elemen terkait.

"Ini bentuk sinergitas nyata, yang sudah terbangun dengan baik di tengah-tengah keterbatasan anggaran yang menyebabkan minimnya sarana prasarana kesehatan di daerah pesisir ini," ujarnya.

Yang kedua kata Fatri, pemerintah daerah perlu menyadari betapa pentingnya alokasi anggaran yang sesuai untuk meningkatkan kualitas pelayanan di bidang kesehatan.

Agar kasus seperti mogoknya ambulans milik Puskesmas Biau, saat sedang mengangkut pasien rujukan, tidak terulang lagi.

"Ini pukulan telak bagi pemerintah daerah, maka perlu cepat-cepat memperbaiki atau meningkatkannya," tambahnya.

Di antaranya dengan mempercepat pengadaan armada ambulans yang perlu ada di setiap puskesmas, khususnya puskesmas berstatus rawat jalan di wilayah terjauh dari rumah sakit rujukan terdekat.

Atau yang terpenting kata Fatri,  perlunya meningkatkan kualitas pelayanan di setiap puskesmas, agar tidak ada pasien yang harus dirujuk.

Sebab merujuk, ujar dia, karena kapasitas pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama  belum mampu melakukan pelayanan secara maksimal.
Penyebabnya antara lain, tidak adanya tenaga dokter.


Kekurangan Dokter

Hal itu nyata terjadi di Puskesmas Biau, yang sudah sekian lama tidak memiliki dokter, ditambah lagi minimnya obat-obatan maupun peralatan kesehatan yang diperlukan.

"Jika seluruh sarana prasana di garda terdepan pelayanan kesehatan mampu diwujudkan, maka kasus-kasus seperti muntaber bisa ditangani dengan cepat hanya di puskesmas saja," ujarnya.

Ia berharap, peningkatan kualitas layanan kesehatan di seluruh puskesmas yang ada, segera terwujud.

Bagi pemerintah daerah kata Wakil Bupati Thariq Modanggu, layanan kesehatan di daerah itu perlu dilakukan dari hulu ke hilir. Karena selama ini hanya sibuk memikirkan penanganan di hilir saja dan seringkali melupakan betapa pentingnya pembenahan sektor kesehatan dari hulu.

Artinya kata Wakil Bupati, penyakit mudah diantisipasi jika pelayanan kesehatan di bagian hulu sudah dipastikan baik.

Di antaranya, dengan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang memerlukan peran seluruh pemangku kepentingan, termasuk masyarakat itu sendiri dimulai dari perilaku hidup sehat di setiap keluarga.

Menyikapi kasus muntaber yang menyerang warganya di Kecamatan Biau dan Tolinggula kata Wakil Bupati, dilakukan pemerintah daerah dengan meminta pihak puskesmas menyusun analisis terkait kondisi pasien saat datang di puskesmas, dan periodiknya serta diagnosanya.

Hal itu akan disandingkan dengan analisis yang dilakukan pihak laboratorium dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) terkait dugaan bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat, baik makanan maupun minuman.

Seperti sampel air yang dikonsumsi, ujarnya. Sebab dugaannya mengarah pada konsumsi air.

Pasalnya, warga Tolinggula sebagian mengandalkan air Perusahaan Umum Daerah Air Minum (PUDAM) yang sumbernya ada di Kecamatan Biau, serta warga di Kecamatan Biau pun sebagian besar mengandalkan air isi ulang yang berasal dari depot air di Kecamatan Tolinggula.

Hasil analisis melalui uji laboratorium itu penting diperoleh untuk mengetahui penyebab muntaber yang mayoritas dialami anak-anak.

Ini supaya penanganannya tepat dan secepatnya dapat dilakukan, seperti juga langkah pengobatan intensif bagi puluhan warga yang datang dengan kasus muntaber.

"Masyarakat daerah ini perlu ceria menikmati kesehatannya, termasuk layanan kesehatan yang dijalankan pemerintah daerah melalui program-program pembangunan di sektor kesehatan," ujarnya.

Kepala Dinas Kesehatan dr Wardana Harun, SpPK mengatakan, dari 15 puskesmas di daerah itu, ada 3 puskesmas yang tidak ditunjang dengan ketersediaan tenaga dokter.

Hal tersebut bukan sengaja terjadi atau pemerintah daerah sengaja melakukan pembiaran. Pasalnya kata Wardana, berbagai upaya telah  dilakukan untuk mengisi kebutuhan dokter di 3 puskesmas tersebut, di antaranya Puskesmas Biau.

Ia mengharapkan jumlah tenaga dokter lebih dari kuantitas yang perlu ada, atau minimal ada dua tenaga dokter di setiap puskesmas dan sebanyak-banyaknya ada di rumah sakit, khususnya dokter spesialis.

Hingga sekarang, ujar dia, permintaan tenaga dokter melalui program Nusantara Sehat, yaitu 20 tenaga dokter umum dan 15 dokter gigi, belum terpenuhi.
"Saya pun tak habis pikir kenapa tidak ada dokter yang mau bertugas di daerah ini," ungkapnya.

Namun upaya-upaya untuk mendapatkan tenaga dokter seperti jumlah yang diinginkan, minimal 1 dokter umum di setiap puskesmas, terus dilakukan.
Seperti mengajukan kuota pengadaan dokter umum melalui formasi calon pegawai negeri sipil (CPNS).

Tahun ini, kuota yang diajukan ada 8 orang, namun yang melamar hanya 6 orang dan dinyatakan lulus CPNS hanya 1 orang.

"Upaya peningkatan jumlah dokter terus dilakukan, agar 15 puskesmas tersebar di 11 kecamatan dilengkapi dengan tenaga dokter umum yang memadai," ungkapnya.

Kepala Puskesmas Biau, Warda Mootalu, SKM mengatakan,  dampak tidak adanya tenaga dokter di puskesmas itu, menyebabkan dana kapitasi menurun dari Rp4.500 per jiwa menjadi Rp3.000 per jiwa atau dari Rp18 juta per bulan menjadi Rp14 juta per bulan.

Akibatnya, puskesmas hanya bisa mengelola dana kapitasi tergolong kecil, sebab alokasinya diperuntukkan 60 persen jasa tenaga medis serta 40 persen untuk biaya operasional.

Sementara untuk layanan pengobatan setiap harinya, menyesuaikan tenaga dokter yang ada di Puskesmas Sumalata atau wilayah terdekat.

"Acapkali kami membuat kesepakatan untuk membagi jadwal kunjungan dokter dengan pihak Puskesmas Sumalata, ataupun seringkali mengandalkan layanan "on call" agar bisa melayani masyarakat yang datang berobat," ujarnya.

Sedangkan untuk obat-obatan kata Warda, jika terjadi kekurangan maka pihaknya akan langsung mengajukan permintaan ke instalasi farmasi Dinas Kesehatan Kabupaten.

Untuk kasus muntaber yang melanda 41 warga yang tersebar di 10 desa, Puskesmas Biau mendapatkan pasokan tambahan obat-obatan dari Dinas Kesehatan setempat maupun provinsi.

Ia berharap, puskesmas tersebut segera memiliki tenaga dokter, disamping penambahan armada ambulans yang sangat diperlukan.

"Armada ambulans perlu ada bagi puskesmas berstatus rawat jalan yang tidak memiliki dokter dan berada di wilayah terjauh atau perbatasan," ungkapnya.


Baca juga: 56 warga Gorontalo Utara terkena muntaber
Baca juga: Warga Gorontalo Utara terserang muntaber bertambah

Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019