Kementerian Komunikasi dan Informatika sejak pekan lalu sudah mengundang penyelenggara platform digital untuk bersepakat menjaga dunia maya menjelang hari H pada 17 April.
Dalam pertemuan yang berlangsung pada minggu terakhir Maret itu, Kominfo meminta kepada para penyelenggara platform digital untuk menghentikan tayangan iklan kampanye politik di masing-masing platform pada masa tenang 14-16 April.
"Semua bentuk iklan kampanye tidak boleh di masa tenang," kata Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan.
Peraturan dari Kominfo itu akan berujung pada sanksi administrasi jika tidak dipenuhi, paling buruk, operasional platform digital dapat diblokir.
Baca juga: Kenali caleg pilihan agar tak menyesal kemudian
Google Indonesia sudah menyiapkan tiga langkah penting untuk menjaga platform mereka tetap kondusif sekaligus membantu pemilih untuk mengakses informasi tentang Pemilu.
"Kami bekerja sama dengan pemerintah dan lembaga nonpemerintah," kata Kepala Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintahan Google Indonesia, Putri Alam, saat jumpa pers di Jakarta, akhir Maret.
Area pertama yang disoroti Google Indonesia saat Pemillu adalah bagaimana membantu pemilih untuk mengakses informasi. Google Indonesia bekerja sama dengan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi menyiapkan situs Pintar Memilih yang berisi profil para calon legislatif beserta profil mereka.
Google juga mengadakan seminar di lebih dari 10 universitas di Indonesia agar para pemuda menyadari pentingnya menggunakan hak pilih mereka.
Google memiliki platorm membaca berita melalui Google News, mereka akan menyiapkan kanal untuk berita seputar Pemilu serta menampilkan lebih banyak artikel hasil pengecekan fakta dari Cekfakta.com.
"Saat debat, tim Cekfakta.com melakukan pengecekan fakta secara live materi debat supaya pembaca mendapatkan informasi yang benar," kata Putri.
Di area kedua, Google Indonesia melakukan pendekatan yang dinamis agar para pemilih milenial, atau mereka yang baru pertama kali memilih, memahami jalannya pemungutan suara.
Google menggandeng sejumlah YouTuber untuk membuat konten tentang Pemilu agar lebih mudah dipahami anak-anak muda, termasuk juga mengadakan lomba berhadiah membuat konten video bertema Pemilu.
Area terakhir yang penting bagi Google adalah keamanan platform menjelang Pemilu, termasuk untuk situs-situs penting yang berkaitan dengan Pemilu. Google mendorong situs-situs yang berkaitan dengan Pemilu, termasuk media pemberitaan, untuk mendaftar ke Project Shield agar terhindari dari serangan Distributed Denial-of Service atau DDoS.
Selain itu Google juga memiliki tim yang terdiri dari insinyur, pengacara, dan ilmuwan untuk memastikan platform mereka dari konten bermasalah.
Persiapan yang menyeluruh juga datang dari YouTube, platform berbagi video milik Google. YouTube secara khusus menitikberatkan keamanan Pemilu melalui sebaran informasi yang tidak benar, untuk itu, mereka melakukan sejumlah cara agar platform mereka tidak menjadi tempat penyebaran hoax.
YouTube bekerja sama dengan media pemberitaan jurnalilstik untuk pemberitaan seputar Pemilu, termasuk menyiarkan Debat Capres secara langsung.
YouTube akan menayangkan konten teratas tentang Pemilu dari media-media pemberitaan. Selain itu, mereka juga bekerja sama dengan kreator konten untuk membuat informasi tentang Pemilu.
Baca juga: Merayakan demokrasi di tanah gusuran
Facebook sebagai jejaring sosial terbesar di dunia juga menganggap Pilpres di Indonesia sebagai salah satu prioritas mereka. Jika Google fokus pada sebaran misinformasi di platform mereka, Facebook menilai salah satu yang perlu diperhatikan dalam Pilpres ini adalah bad actor atau aktor jahat yang berada di balik akun-akun media sosial.
Merupakan hal yang wajar jika Facebook memiliki pandangan yang berbeda soal misinformasi jelang Pemilu, pasalnya, platform tersebut dituding menjadi tempat penyebaran misinformasi dari Rusia selama kampanye Pilpres Amerika Serikat 2016.
Facebook menjanjikan transparansi mengenai iklan politik yang dipasang di mereka, artinya pengguna bisa melihat siapa yang memasang iklan tersebut dan siapa yang menjadi target iklan tersebut.
Facebook juga memastikan tidak ada akun asing yang dapat memasang iklan kampanye politik Pilpres di Indonesia.
Aktor jahat yang menjadi sorotan Facebook adalah akun manipulatif yang dikelola sekumpulan orang untuk memberikan pemahaman yang keliru bagi publik. Facebook menyebutnya sebagai perilaku tidak otentik yang terorganisir.
"Sebenarnya, jumlahnya kecil, namun, mereka punya teknik untuk manipulasi," kata Kepala Kebijakan Keamanan Siber Facebook, Nathaniel Glachier, saat berkunjung ke Jakarta.
Salah satu cara manipulatif yang dilakukan para aktor jahat adalah dengan membuat konten yang tidak melanggar Standard Komunitas di Facebook sehingga aktivitas seperti ini sedikit sulit dilacak. Tapi, mereka menggunakan identitas palsu untuk akun tersebut.
"Maka itu, kami fokus pada perilaku karena mereka membuat konten yang tidak melanggar peraturan kami," kata Glachier.
Usaha Facebook untuk mendeteksi perilaku mencurigakan didukung oleh mesin yang sudah dilatih untuk mengenali akun palsu, serta tim investigator untuk mendeteksi perilaku yang mencurigakan.
Menurut Glachier, setiap menit mesin Facebook mendeteksi dan menghapus jutaan akun palsu dari berbagai tempat di dunia, sementara itu, akun mencurigakan yang dikelola oleh manusia sulit untuk dideteksi sehingga mereka memerlukan investigator manusia untuk memastikan akun tersebut bermasalah.
Facebook juga memiliki tim di Indonesia untuk menjaga platform mereka selama pemilu berlangsung. Bagi Facebook, masa krusial saat Pemilu bukan hanya menjelang hari H, namun, juga setelah pemilihan berlangsung.
Para aktor jahat itu akan berusaha menyatakan hasil pemilihan tidak sah, menurut Glachier. Selain tim di Indonesia, Facebook juga memiliki pusat operasional di Singapura yang juga diterjunkan untuk menangani keamanan platform mereka pada masa Pemilu di Indonesia.
Tim ini terdiri dari para ahli, salah satunya adalah ahli bahasa dan akan bersinergi dengan tim Facebook global.
Glachier memastikan tim mereka ini merupakan gabungan dari platform lainnya milik mereka, yaitu WhatsApp dan Instagram.
Baca juga: Gigihnya Relawan Demokrasi Tionghoa di Singkawang
Editor: Sapto HP
Copyright © ANTARA 2019