Oleh Bob Widyahartono MA *) Jakarta (ANTARA News) - Persaingan memperebutkan Penanam Modal Asing (PMA) atau Foreign Direct Investment (FDI) terlihat makin ketat di negara kawasan Asia, termasuk tetangga Indonesia, seperti China dan Vietnam. Indonesia belakangan ini tidak semujur mereka dalam daya saing menarik PMA. Lalu, apa langkah langkah riil Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan kalangan pebisnis di negeri ini? Dengan pengamatan yang tumbuh di Asia Timur, maka sejak awal 1990an sebenarnya telah muncul paradigma bahwa industrialisasi berorientasi ekspor merupakan strategi yang lebih baik dari substitusi impor. Memang strategi orientasi ekspor oleh pendekar ekonom dan pembuat kebijakan ekonomi pembangunan awalnya dianggap tidaklah masuk akal (unthinkable). Tahapan dan jenis kebijakan industrialisasi diperkenalkan klasifikasinya oleh Chen, Edward K.Y. (1988) adalah sebagai berikut: 1. Import Substitution 1 (IS 1), Producing consumer goods; using protectionist measures to groom infant industries; 2. Import substitution 2 (IS2), Producing capital goods and consumer durables; 3. Export Orientation 1 (EO1) Producing labor-intensive light manufactured goods; 4. Export Orientation 2 ( EO 2) and Export Orientation 2 Complex (EO2- complex), Producing technology/capital/knowledge-intensive industries, developing services, especially financial; undergoing technological and economic restructuring. Chen, Edward K.Y. pada 1988 menulis The economics and Non Economics of Asia’s Four Little Dragons. Masalah PMA juga dikemukakannya dalam kuliah umum saat wisuda di (Inaugural Lecture) University of Hongkong, kemudian torehan karyanya pada 1997 berjudul The Asia Model of Economic Development: Policy Implication for the 21st Century "Institute of Developing Economies" di Tokyo, Jepang. Salah satu wanti-wantinya memasuki abad 21 adalah mengenai perdagangan international, dan khususnya pergerakan faktor (factor movements) yang tergantung pada apa yang disebutnya "piranti keras" (hardware) dan "piranti lunak" (software) dari kaitan internasional. Sisi "piranti keras" termasuk infrastruktur transpor dan kumunikasi yang diperlukan untuk koordinasi kegiatan produksi dan perdaganagan. Lepas landas (take off) ekonomi dan pertumbuhan berkesinambungan Negara-negara Industri Baru (NIB) Asia terjadi menjelang akhir tahun 1960an, negara anggota Perhimpunan Asia Tenggara (ASEAN) 4, yakni Thailand, Malaysia, Indonesia dan Filipina, terjadi satu dasawarsa kemudian, yakni akhir 1970an. China mengalami pertumbuhan berkesinambungan mulai pertengahan 1980an. Bagi Indonesia, wanti-wantinya Chen tidaklah mungkin diwujudkan dengan melakukan "lompatan tanpa mengalami pertumbuhan berkesinambungan" (impossible to leapfrog). Oleh karena itu, mengadopsi serangkaian kebijakan yang tepat merupakan kondisi/syarat yang penting bagi keberhasilan proses pembangunan ekonomi kita. Kondisi yang pernting adalah suatu kerangka kerja institusional yang mendorong serangkaian kebijakan tersebut dengan menyadari faktor-faktor institusional, seperti budaya dan budaya politik. Pengalaman negara negara Asia Timur menunjukkan bahwa PMA dapat menggerakkan pembangunan ekonomi. Kenyataan ini membuktikan adanya keterkaitan antara perdagangan dengan PMA ( linkage between trade and FDI) yang membuktikan komplementaritasnya perdagangan dengan investasi. Masih banyak ekonom makro di negeri ini yang meragukan komplementaritas tersebut dengan pertanyaan kuantitatif: berapa dolar dapat diprediksi sebagai perolehan arus perdagangan dari satu dolar investasi? Berbagai bentuk investasi seperti menjadi opsi para investor, yakni: 1. Labour seeking: Atas dasar keunggulan komparatif negara tuan rumah dalam arti besarnya pasar negara tuan rumah. Bila pasarnya terbatas, maka tujuan investasi adalah menggerakkan ekspor, dan bila pangsa pasarnya luas, maka awalnya adalah men-sbustitusi impor. 2. Resource seeking: PMA yang terlibat lebih memberi tekanan untuk ekspor, dengan meng-eksploitasi sumber daya ?(resource endowments) optimal, dengan fokus utama pada menggerakkan perdagangan, negara tuan rumah memberlakan pembatasan pembatasan demi keamanan nasional (national security restrictions); 3. Component-outsourcing, atas dasar keunggulan teknologi yang dimiliki perusahaan yang melakukan investasi; 4. Horisontal type, untuk memprodusir produk-produk yang didiferensiasi dalam pasar oligopolistik dengan profitabilitas yang meningkat, dengan cara intra-industry dan intra-firm trade; 5. Service related, yang terjadi dalam industri yang tergolong non-traded yang berdampak keunggulan absolut begara tuan rumah dengan meningkatkan prodktivitas modal, dan sebagai masukan strategis untuk meng-upgrade sektor ekspor negara tuan rumah. Berbagai bentuk investasi di atas kebanyakan adalah bersifat menggerakkan perdagangan (trade promoting) justru karena perekonomian negara tuan rumah kapasitasnya adalah lebih kecil dibandingkan negara yang melakukan investasi. Keterkaitan antara perdagangan dan investasi dalam tingkatan ekonomi mikro (microeconomic level) perlu dicermati dalam menarik investor dalam arti dampak penciptaan perdagangan yang digerakkan oleh adanya investasi. Sifat dan bentuk jaringan kerja antar perusahaan yang merupakan muara dari investasi makin berkembang: awal mulanya parent-subsidiary secara vertikal yang merupakan sifat dan bentuk diminati. Kemudian dalam perkembangan dengan pengalaman yang saling mendukung menjadi tidak terlalu bersifat menjadi inter-affliliate dengan "otonomi yang makin besar oleh perusahaan perusahaan tergolong subsidiaries". Di pihak Pemerintah RI, BKPM dan instansi terkait dan daerah yang mendukung BKPM terus berupaya meningkatkan langkah stratetgis mengembangkan investasi dengan Undang Undang Penanaman Modal yang baru berlaku. Perjalanan UUPM (lihat lampiran) setelah melewati berbagai proses, perangkat hukum yang sudah dinanti akhirnya telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penantian panjang adanya payung hukum dalam berinvestasi mendekati kenyataan. Urgensi investasi sebagai salah satu tiang penopang pertumbuhan ekonomi adalah penting. Negeri ini agaknya membutuhkan mengabaikan aspek keadilan, keadilan dalam arti lebih luas meliputi kepentingan bangsa dan negara. Sebagai negara hukum, perangkat aturan yang tertuang dalam bentuk undang-undang menjadi prasyarat mutlak. Dalam dunia investasi, maka kepastian hukum yang tidak mudah ditafsirkan oleh pejabat secara sepihak harus menjadi acuan. Beberapa negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam, yang gencar menarik calon investor dengan tegas memberi insentif pajak yang menjadi "nilai plus" yang menarik bagi para investor. Secara umum, peluang investasi untuk investor asing di Indonesia sangat banyak. Namun, tidak berarti semua bidan bisa dimasuki investor asing. Ada beberapa bidang usaha yang masih tertutup bagi mereka. Pertimbangannya, pemerintah bermaksud melindungi pelaku logal untuk bidang bidang tertentu. Setiap investor yang berminat memasukkan dananya perlu memahami rambu-rambu. Jadi, masih adanya DNI (Daftar Negatif Investasi) yang dapat diperoleh di BKPM. Sumber daya alam kita masih merupakan daya tarik tersendiri dibandingkan negara-egara sesama ASEAN dalam posisi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Semestinya dapat menarik manfaat dari kesiapan peningkatan mutu infrastruktur, manusia, pengetahuan, dan fisik. Namun, dewasa ini kesiapannya masih belum memenuhi kebutuhan akan mutu profesionalisme dan good public governance dalam pelayanan investasi dengan memegang teguh peraturan yang tertuang dalam Undang-Undang Penanaman Modal (UUPM). Risiko dan peluang Mobilitas modal dan teknologi secara dramatis merubah cara negara-negara memasuki alur sistem produksi global. Bagi negara berkembang maupun maju perubahan perubahan demikian membawa risiko maupun peluang. Bagi Indonesia sebagai negara berkembang, maka terbuka peluang untuk berperan serta dalam produksi regional dan internasional dengan meningkatkan kesempatan kerja dan daya beli masyarakat. Tapi, risiko pun dapat muncul dari kelemahan kebijakan dan arah gejala (trends) ekonomi kawasan regional. Lingkungan pasaran terus melaju memacu inovasi, spesialisasi dan diferensiasi produk. Dalam hal ini dibutuhkan lingkungan baru dalam arti fleksibilitas kebijakan ekonomi atas dasar win-win yang wajar. Siapkah pihak bea cukai, terutama profesionalisme pejabat di daerah, dalam tugas dan tanggung jawab menjadi peran kelancaran di pabean tanpa terjebak dalam mentalita dengan membiarkan penyelundupan ? Tantangan yang senantiasa harus dihadapi adalah mutu lembaga ekonomi yang memfasilitasi perubahan cepat dan secara luas menyebarkan maslahat budaya roduktivitas. Masih cukup banyak masalah dalam perjanjian perjanjian dengan negara lain, dihadapi baik secara bilateral, sebut saja JIEPA (Japan Indonesia Economic Partnership Agreement) yang dalam perkembangan usulan oleh pihak Jepang sejak tahun 2003, namun baru ditandatangani 20 Agustus 2007. Penanaman modal diharapkan tidak menjadi alat-alat tersembunyi yang dipergunakan pelaku perdagangan untuk memperkuat hak hak istimewa dan aset/kekayaan yang telah diterima oleh perusahaan perusahaan pihak investor. Karena itu, perlu kesermatan dalam negosiasi implementasinya terutama di daerah potensial, seperti Kawan Ekonomi Khusus yang tengah direncanakan oleh Indonesia di berbagai daerah. Di satu sisi keahlian para perunding di negeri ini dengan dukungan tim ahli dalam merumuskan perjanjian, namun mewujudkan kompetensi profesional oleh eselon menengah (middle management) sebagai praktik yang berproses merupakan "tanda tanya", mengingat SDM lapangan masih jauh dari memadai, jika diamati profesionalisme yang beretika sesuai tugas dan tanggung jawabnya untuk ikut berkiprah dalam proses implementasi, apalagi di daerah. Inilah tantangan riilnya merebut PMA. (*) *) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah Pengamat Ekonomi Asia Timur; dan Dosen Senior Bisnis Internasional di Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanagara (FE Untar), Jakarta.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007