Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menneg BUMN yang juga mantan Komisaris Utama PT Pertamina Laksamana Sukardi menegaskan Pertamina justru mendapatkan keuntungan sedikitnya 53 juta dolar AS dari penjualan kapal tanker jenis Verry Large Crude Carrier (VLCC), di samping memperoleh cashflow saat BUMN itu mengalami kesulitan keuangan. "Siapapun yang belajar akuntansi pasti mengakui bahwa Pertamina mendapatkan keuntungan dari penjualan VLCC. Keuntungan sebesar 53 juta dolar AS itu untuk membangun kapal yang telah diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono," kata Laks (panggilan Laksamana Sukardi) di Jakarta, Minggu, berkaitan penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung terkait penjualan kapal tanker itu. Laks memperkirakan bahwa penetapan tersangka atas dirinya "tak lepas dari tekanan dari pihak tertentu kepada Kejaksaan Agung". Artinya ialah keputusan Kejaksan Agung bernuansa politis dan diduga diintervensi oleh pihak lain. "Saya merasa, sejak awal pengusutan kasus ini oleh Kejaksaan Agung maupun oleh Pansus DPR diarahkan kepada saya," katanya. Karena itu, pihaknya akan melaporkan keputusan Kejaksaan Agung itu kepada presiden. Bahkan pada Senin (5/11) pihaknya berencana menemui Kejaksaan Agung untuk mempertanyakan penetapan tersangka kepada Laks. Tekanan politik kepadanya merugikan citra pemerintah karena pemerintah membiarkan kejaksaan sebagai alat politik pihak tertentu. Laks menegaskan Pertamina saat itu sangat terbantu dengan adanya penjualan kapal tanker. Pertamina waktu itu mengalami kesulitan cahsflow terkait sengketa Karaha Bodas sebesar 600 juta dolar AS. Akibat sengketa hukum internasional itu, rekening Pertamina di luar negeri diblokir sehingga Pertamina kesulitan dana. "Darimana ada angka kerugian negara dari penjualan VLCC karena tidak ada dana APBN yang digunakan untuk membangun VLCC," kata Laks, yang menambahkan penggunaan APBN harus atas persetujuan Menkeu dan didasarkan pada DIP atau DIPA. Laks menyatakan bila dianggap sebagai kejahatan korporasi, maka kejahatan tersebut tidak dapat dipidanakan karena merupakan trasaksi bisnis yang sesuai prosedur dan menguntungkan bagi Pertamina. "Ada unsur tekanan politik kepada kejaksaan agar menetapkan saya sebagai tersangka. Tiga tahun KPK melakukan pemeriksaan atas masalah ini, tidak menemukan apa-apa," katanya. Laks juga mempersoalkan penggunaan pasal-pasal yang dikenakan kepadanya setelah ia ditetapkan sebagai tersangka. Hal itu memperkuat dugaan adanya tekanan politik kepada kejaksaan. "Saya dizalimi, bahkan sampai dicekal. Hak azasi saya sudah dirampas," katanya. Keputusan Kejaksaan Agung juga merugikan dunia investasi dan bisnis. Keputusan itu menunjukkan tidak adanya jaminan kepastian hukum, di samping merusak citra penegakan hukum. Mengenai tekanan yang diarahkan kepadanya, Laks mengungkapkan saat Pansus DPR RI sedang bekerja, direksi Pertamina menerima oknum yang mengaku anggota Pansus DPR atau orang yang mengaku dari DPR menyodorkan rancangan keputusan Pansus DPR mengenai penjualan VLCC. Dalam draft keputusan DPR terdapat tiga nama yang direkomendasikan sebagai tersangka. Ketiganya saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh kejaksaan, termasuk Laks dan mantan Direktur Keuangan Pertamina Alfred Rohimone. Menurut Laks, Alfred Rohimone menghubunginya ketika ada oknum DPR yang menyodorkan draft keputusan Pansus DPR. Oknum DPR itu diduga punya maksud tertentu dan Laksamana memerintahkan kepada Alfred agar permintaan itu ditolak. "Sepeserpun tidak kami kasih. Begitu juga saya tidak mendapatkan uang sesenpun dari penjualan VLCC," katanya. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007