Jakarta (ANTARA News) - Meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung, mantan Menteri Negara (Meneg) BUMN Laksamana Sukardi mendukung proses hukum penuntasan kasus yang terkait penjualan dua kapal tanker raksasa atau very large crude carrier (VLCC) milik Pertamina, agar permasalahan tuntas. "Saya akan datang ke Kejaksaan dan mengungkapkan fakta-fakta hukum demi kebenaran dan keadilan, sehingga masyarakat mengetahui duduk persoalannya," kata Laksamana Sukardi kepada pers di Jakarta, Rabu. Laks yang juga Koordinator Pimpinan Kolektif Nasional (PKN) Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) menegaskan, Kejaksaan harus bersikap netral dalam proses penyelidikan dan penyidikan karena saat ini berkembang pendapat di masyarakat bahwa kasus penjualan kapal tanker dipolitisasi. Penuntasan kasus berdasarkan kebenaran dan keadilan akan berdampak positif bagi pemerintahan dalam penegakan hukum. Sebaliknya, proses yang sarat dengan nuansa politis akan menyebabkan citra pemerintah terganggu sehingga dunia internasional memandang rendah penegakan hukum di Indonesia. Dia juga mengingatkan Kejaksaan untuk tidak menerapkan kacamata kuda dan mengabaikan fakta-fakta hukum dan kebenaran. "Kalau langkah ini yang diambil, maka tamatlah riwayat penegakan hukum di Tanah Air ini. Padahal penegakan hukum prioritas pertama pemerintahan SBY-JK," kata Laks. Kuasa hukum Laks, RO Tambunan, berpendapat nuansa politik di Kejaksaan Agung sangat terlihat dalam kasus korupsi. Dalam kasus Pembangkit Tenaga Listrik Gas dan Uap (PLTGU) Borang, Sumatera Selatan, meskipun sudah dinyatakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terjadi kerugian negara, Kejaksaan Agung melalui Kejaksaan Tinggi Jakarta pada Jumat (2/11) mengeluarkan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan (SKPP). Beberapa hari kemudian Kejakgung melayangkan surat pemanggilan kepada Laks untuk dimintai keterangan pada 8 November 2007. Padahal tim BPK belum menemukan bukti kerugian negara dan dalam surat pemanggilan itu tidak dicantumkan pasal yang disangkakan dan pro justicia. "Ini menunjukkan penetapan tersangka cenderung dipaksakan dan tergesa sehingga melanggar hak asasi yang bersangkutan untuk menyiapkan bukti-bukti sesuai dengan pasal yang disangkakan. Saya menyimpulkan kasus ini tekanan secara politik oleh pihak-pihak tertentu untuk menghancurkan PDP melalui Laksamana," kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) itu. Mencermati waktu yang bersamaan antara penghentian penuntutan atas kasus korupsi di PLTGU Borang kemudian penetapan tersangka atas kasus divestasi VLCC, katanya, menimbulkan persepsi bahwa Laks adalah target politik oleh kelompok yang tidak menyukai keberadaan PDP. Padahal berdasarkan hasil auditnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak menemukan bukti kerugian negara, demikian juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sejak dua tahun pun tidak menemukan kerugian negara. Namun Kejakgung dalam rentang beberapa bulan sudah menemukan kerugian negara dalam kasus divestasi VLCC. "PLTGU yang sudah ditemukan dugaan kerugian negara, Kejaksaan menghentikan penuntutan dan membebaskan empat tersangka," katanya. Kejakgung menolak anggapan bahwa penetapan tersangka kepada Laks bernuansa politik. Direktur Penyidik Tindak Pidana Korupsi dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kimas Yahya Rahman menyatakan keputusan Kejagung menetapkan Laks sebagai tersangka bukan atas tekanan pihak tertentu.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007