Jakarta (ANTARA News) - Tersangka penjualan tanker "Very Large Crude Carrier" (VLCC), Laksamana Sukardi, Senin, membawa tiga dokumen terkait kasus tersebut dalam pemeriksaan ketiga di Kejaksaan Agung. Kuasa hukum Laksamana, Juniver Girsang, menyatakan bahwa tiga dokumen itu, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Wewenang Menteri Keuangan Kepada Menteri Negara Badan Usaha Minilik Negara (Menneg BUMN). Laksamana adalah mantan Menneg BUMN ketika kasus penjualan VLCC Pertamina berlangsung. Selain itu, ia juga membawa notulensi hasil rapat direksi Pertamina, dan surat persetujuan Menteri Keuangan yang kala itu dijabat Boediono terhadap penjualan VLCC. Sebelumnya, Laksamana mengatakan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2003 berisi pelimpahan wewenang dari Menteri Keuangan yang saat itu dijabat Boediono ke Menteri Negara BUMN yang kala itu dijabat Laksamana Sukardi. Wewenang yang dimaksud terkait dengan status Meneg BUMN sebagai pemegang saham di perusahaan-perusahaan milik negara, termasuk Pertamina. "Ini adalah wewenang yang diberikan oleh presiden, wewenang menteri keuangan yang dilimpahkan ke Meneg BUMN," katanya. Kuasa hukum Laksamana Sukardi, Alamsyah Hanafiah, mengemukakan, PP Nomor 41 Tahun 2003 menjadi dasar kliennya memberikan izin penjuakan tanker, tanpa harus meminta izin menteri keuangan. "Disitulah peran Menteri BUMN bisa mengizinkan untuk menjual," katanya. Senada dengan Laksamana, Alamsyah menegaskan, PP Nomor 41 Tahun 2003 berisi pengalihan kewenangan menteri keuangan kepada Meneg BUMN selaku pemegang saham dalam perusahaan-perusahaan milik negara. Selain Laksamana, Kejaksaan Agung juga menetapkan dua pejabat Pertamina yang lain, yakni mantan Direktur Keuangan, Alfred Rohimone, dan mantan Direktur Utama (Dirut) Arifi Nawawi, sebagai tersangka. Kasus VLCC bermula pada 11 Juni 2004, ketika Direksi Pertamina bersama Komisaris Utama Pertamina menjual dua tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) milik Pertamina nomor Hull 1540 dan 1541 yang masih dalam proses pembuatan di Korea Selatan (Korsel). Penjualan kepada perusahaan asal Amerika Serikat (AS), Frontline, itu diduga tanpa persetujuan Menteri Keuangan. Hal itu dinilai bertentangan dengan pasal 12 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 1991. Kasus itu diduga merugikan keuangan negara sekira 20 juta dolar AS. Namun demikian, Kejaksaan Agung masih menunggu perhitungan resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007