Jakarta (ANTARA News) - Tersangka penjualan dua tanker Very Large Crude Carrier (VLCC), Laksamana Sukardi, Kamis, resmi menyebutkan nama tiga mantan pejabat terkait kasus yang sedang dihadapinya. Ditemui setelah diperiksa tim penyidik Kejaksaan Agung selama hampir 10 jam di Jakarta, Laksamana menyatakan nama-nama itu disebut dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap dirinya. Ketiga nama tersebut adalah mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, mantan Menko Perekonomian Dorodjatun Koentjoro Jakti, dan mantan Menteri Keuangan Boediono. Menurut Laksamana, ketiga orang tersebut terkait, terutama dalam menyetujui dan mengetahui penjualan hak pesan dua tanker VLCC. "Adalah hak saya untuk menjelaskan hal ini dan menyebutkan nama-nama yang terkait," kata Laksamana. Namun demikian, dia menegaskan tidak bermaksud untuk menyeret orang lain dalam kasus yang sedang menimpanya. Laksamana menambahkan, penyebutan nama itu dalam rangka menjelaskan latar belakang penjualan hak pesan tanker. Ketika menjabat sebagai Meneg BUMN, Laksamana pernah bertemu dengan Boediono dan Dorodjatun untuk membahas defisit APBN dan rencana penyitaan aset Pertamina, termasuk tanker VLCC, oleh Karaha Bodas Company. "Masalah Karaha Bodas sudah dibicarakan bersama menteri-menteri, termasuk dengan Ibu Megawati. Ada notulennya," kata Laksamana. Meski menyebut nama tiga mantan pejabat tersebut, Laksamana sepenuhnya menyerahkan penyidikan kasus VLCC kepada penyidik, terutama dalam mencari keterkaitan ketiga nama itu dengan kasus VLCC. Sementara itu, kuasa hukum Laksamana, Alamsyah Hanafiah juga menegaskan Megawati, Boediono dan Dorodjatun adalah orang yang mengetahui rencana penyitaan aset Pertamina oleh Karaha Bodas yang berujung pada penjualan tanker VLCC. "Ketiga orang itu sebagai kelompok yang ikut memberi kebijakan dalam hal menanggapi klaim Karaha Bodas," kata Alamsyah. Alamsyah menegaskan, negara pada saat itu mengalami defisit APBN, sehingga meminta Pertamina membantu menutup defisit tersebut. Kala itu, Laksamana menyetujui menutup defisit, meski akan berdampak buruk pada kondisi kas Pertamina. Alamsyah menembahkan, Laksamana juga meminta Menteri Keuangan untuk menyetujui penggunaan APBN untuk melunasi biaya pembuatan dua tanker VLCC di Hyundai Heavy Industries, Korea Selatan. Namun demikian, kata Alamsyah, Menteri Keuangan tidak setuju dengan ide tersebut. Menteri Keuangan justru menyetujui untuk menjual hak pesan dua tanker VLCC sebelum disita Karaha Bodas. Persetujuan Menteri Keuangan itu awalnya hanya lisan. Persetujuan tertulis, kata Alamsyah, dibuat dua minggu kemudian. Selain Laksamana, Kejaksaan Agung juga menetapkan dua pejabat Pertamina yang lain, mantan Direktur Keuangan Alfred Rohimone dan mantan Dirut Arifi Nawawi, sebagai tersangka. Kasus VLCC bermula pada 11 Juni 2004 ketika Direksi Pertamina bersama Komisaris Utama Pertamina menjual dua tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) milik Pertamina nomor Hull 1540 dan 1541 yang masih dalam proses pembuatan di Korea Selatan. Penjualan kepada perusahaan asal Amerika Serikat, Frontline, itu diduga tanpa persetujuan Menteri Keuangan. Hal itu dinilai bertentangan dengan pasal 12 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 1991. Kasus itu diperkirakan merugikan keuangan negara sekira 20 juta dolar AS. Namun demikian, Kejaksaan Agung masih menunggu perhitungan resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007