Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan tersangka kasus penjualan dua tanker "Very Large Crude Carrier" (VLCC), Laksamana Sukardi, dapat mengajukan saksi meringankan siapa pun juga sebanyak yang dia mau. "Ya 12 atau berapa puluh, nanti mereka akan kita panggil sesuai permintaan (Laksamana)," kata Hendarman di Kantor Presiden Jakarta, Jumat petang, usai rapat terbatas (ratas) kabinet tentang persiapan pelaksanaan Konferensi Internasional Climate Change yang diselenggarakan di Bali, Desember mendatang. Jaksa Agung menjelaskan bahwa sesuai peraturan yang berlaku, tersangka boleh mengajukan saksi meringankan sebanyak yang diinginkan. Namun, lanjut dia, apakah saksi yang dipanggil mau atau tidak itu masalah lain. Saat ditanya mengenai keinginan Laksamana Sukardi untuk mengajukan Menko Perekonomian Boediono dan mantan presiden Megawati Soekarnoputri sebagai saksi, Hendarman mengatakan bahwa kalau Laksamana meminta maka Kejaksaan Agung akan memenuhinya. "Kalau pak Laksamana minta, saya panggil (Boediono) dengan persetujuan Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono). Kalau bu Mega (Megawati) terserah beliau jika ada permintaan," katanya. Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa hingga kini belum ada permintaan dari pihak Laksamana mengenai pemanggilan saksi-saksi meringankan. "Belum ada (permintaan), pemeriksaan tersangka belum selesai dan mungkin mau diperdalam lagi oleh penyidik," katanya. Terkait kasus tersebut, selain Laksamana, Kejaksaan Agung juga menetapkan dua pejabat Pertamina yang lain, mantan Direktur Keuangan Alfred Rohimone dan mantan Dirut Arifi Nawawi, sebagai tersangka. Kasus VLCC bermula pada 11 Juni 2004 ketika Direksi Pertamina bersama Komisaris Utama Pertamina menjual dua tanker VLCC milik Pertamina nomor Hull 1540 dan 1541 yang masih dalam proses pembuatan di Korea Selatan. Penjualan kepada perusahaan asal Amerika Serikat, Frontline, itu diduga tanpa persetujuan Menteri Keuangan. Hal itu dinilai bertentangan dengan pasal 12 ayat (1) dan (2) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 1991. Kasus itu diperkirakan merugikan keuangan negara sekira 20 juta dolar AS. Namun demikian, Kejaksaan Agung masih menunggu perhitungan resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007