Singapura (ANTARA News) - Para pemimpin Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) Selasa siap menandatangani piagam bersejarah yang menegakkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia (HAM) setelah gagal mengendalikan tindakan-tindakan anggotanya Myanmar. Harapan-harapan besar muncul bahwa penandatanganan piagam akan menjadi saat terbaik bagi organisasi yang telah berumur 40 tahun itu, namun kelompok sepuluh negara dalam menangani aksi penumpasan protes-protes pro demokrasi di Myanmar pada September lalu mengotori tonggak bersejarah itu. Kelompok ini menolak seruan-seruan untuk membekukan keanggotaan Myanmar karena aksi penumpasannya itu dan menumbangkan tuntutan-tuntutan negara yang dikuasai militer itu untuk mencegah seorang utusan khusus PBB menyampaikan pidato penting kepada ASEAN dan para pemimpin Asia Timur di KTT di Singapura itu. Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, mengatakan di awal pertemuan itu Selasa, bahwa upaya-upaya untuk mengakselerasikan dan memperdalam integrasi kawasan harus terus berlangsung meskipun adanya kontroversi soal Myanmar. "Penandatanganan piagam yang dilakukan hari ini merupakan awal dari tugas yang panjang, melanjutkan perjalanan yang harus dilakukan oleh semua anggota ASEAN," katanya. "ASEAN harus secara perlahan mengadaptasi kepada kebudayaan dan pelaksanaannya. Hanya dengan demikian kami bisa melanjutkan kemajuan-kemajuan dan menempa KTT mendatang di Bangkok." Para pemimpin ASEAN, menurutnya akan berusaha keras mencegah masalah Myanmar menjadi perintang upaya-upaya mereka untuk memperdalam integrasi dan membangun masyarakat ASEAN. Sesaat sebelum tengah malam, para pemimpin mengumumkan mereka telah mencegah pidato yang disampaikan utusan PBB Ibrahim Gambari, yang dijadwalkan untuk Rabu. Sementara para pemimpin menandaskan kepada Myanmar bahwa pihaknya harus meningkatkan pelaksanaan reformasi-reformasi demokrasi seperti yang dia janjikan, pembatalan pidato Gambari tidak disepakati oleh beberapa anggota ASEAN lainnya dan juga para pengamat. Seorang pejabat Filipina mengatakan, Presiden Gloria Macapagal Arroyo termasuk di antara mereka yang tidak puas dengan penjelasan Myanmar mengenai tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap para pelaku protes. "Kami selalu berusaha memahami situasi, namun kini saatnya bagi pihak lain untuk menunjukkan sesuatu," kata pejabat itu, yang berbicara dalam kondisi tak bersedia disebut jatidirinya. ASEAN yang terdiri Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar mendapat kecaman-kecaman atas kegagalan mereka bersikap menentang pemerintah Yangon. Perwakilan Perdagangan AS, Susan Schwab memperingatkan hubungan-hubungan ASEAN dengan negara yang dulu disebut Burma `bukanlah hubungan sebagaimana biasa.` Menurutnya, reputasi dan kredibilitas ASEAN sebagai organisasi dipertanyakan karena situasi di Burma itu. Pemerintah memperkirakan 15 orang tewas dalam aksi penumpasan di Yangin, tapi para diplomat dan kelompok-kelompok HAM mengatakan lebih banyak. Ribuan orang juga ditahan, dan Amnesti Internasional mengatakan 700 orang kini masih dalam tahanan, demikian DPA.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007