Jakarta (ANTARA News) - Harga penawaran saham PT Indo Tambangraya Megah (ITM) sekitar Rp11.000 sampai Rp15.000 per saham dinilai terlalu mahal, jika dibandingkan dengan industri sejenis (produsen batubara) harga sahamnya jauh di atas rata-rata, misalnya harga saham PT Bukit Asam yang sudah lama berdiri saja sekitar Rp9.800 per saham. "Harga penawaran saham ITM terlalu mahal, kalau melihat price earning ratio (PER) nya sekitar 37 kali, padahal PT Bukit Asam Tbk (PTBA) saja yang sudah lama berdiri dan listing di BEJ PER nya sekitar 30 kali," kata analis dari Mega Capital, Felix Sindhunata, di Jakarta, Selasa. Felix mengatakan, IPO ITM ini juga dipertanyakan para analis, mengapa hanya menawarkan saham dalam jumlah yang terlalu kecil. Sebagaimana diketahui ITM hanya menawarkan saham sebanyak 225.985.000 saham dengan nilai nominal Rp 500 per saham dan harga penawaran sekitar Rp11.000 sampai Rp15.000 per saham. Dia mengemukakan, seharusnya ITM jangan menyamakan perusahaanya dengan PTBA yang sudah lama go public dan punya track recor yang bagus. "Tapi, ITM ini kan baru mau 'go public' dan seharusnya dapat memberikan harapan yang bagus bagi investor, baik dari sisi harga yang terjangkau juga dari kemudahan untuk memiliki sahamnya. Lagi pula track record ITM tidak terlalu bagus terutama dari sisi pertumbuhan laba bersihnya," kata Felix. Hal senada diungkapkan pengamat pasar modal, Edwin Sinaga. Menurut dia, harga saham ITM terlalu mahal, karena selama ini tidak ada emiten ketika "go public" harganya di atas Rp 10.000. "Sebaiknya ITM menambah jumlah saham yang ditawarkan supaya harganya dapat terjangkau investor," kata Edwin. Sementara itu, Direktur Investment Banking UBS Securities Indonesia, Agung Prabowo, selaku penjamin pelaksana emisi, menyangkal kalau harga saham ITM dinilai terlalu mahal. Menurut dia, harga saham tersebut sudah mencerminkan prospek ke depan perusahaan yang cukup baik. Selama ini perseroan melakukan ekspor batubara ke pihak terafiliasi tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah dimana hal tersebut tidak sesuai dengan PKP2B (Perjanjian Kerjasama Pengusahaan dan Penambangan Batubara). Pemeriksaan pemerintah akibat tidak terpenuhinya PKP2B dapat berdampak pada timbulnya beban royalti, pajak, dan sanksi lainnya kepada anak perusahaan terkait. Jika pemerintah menyatakan bahwa perseroan telah melakukan kelalaian atas PKP2B, dinilainya, maka terdapat kemungkinan pemerintah untuk menghentikan PKP2B. Dalam ketentuan PKP2B, anak-anak perusahaan ITM dipersyaratkan untuk memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah untuk mengekspor batubara pada afiliasinya dan harga penjualannya tidak boleh lebih rendah daripada harga terendah yang dibayar pelanggan tidak terafiliasi. Selain itu, pemerintah berdasarkan kondisi-kondisi tertentu dapat membatalkan atau membatasi kontrak dan kuasa pertambangan batubara. Perseroan juga sangat tergantung pada kontraktor pertambangan yang memiliki dan mengoperasikan peralatan dan mesin-mesin utama yang dibutuhkan untuk kegiatan operasional perusahaan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007