Oleh Bob Widyahartono MA *) Jakarta (ANTARA News) - Dalam Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) Perhimpunan Bangsa Asia Tenggara (ASEAN Summit) di Singapore pada 19-22 November 2007, salah satu fokusnya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota dengan deklarasi Komunitas Ekonomu ASEAN (Asean Economic Community/AEC). Hal itu dapat dianggap kelanjutan dari Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (Asean Free Trade Area/AFTA) dengan "road map" yang makin jelas, sekalipun ada kalanya anggota ASEAN ibarat angsa yang terbang sendiri-sendiri. Pebisnis, termasuk para bankers Indonesia, makin ditantang tampil lebih profesional/kompeten, khususnya dengan profesionalisme yang kredibel melakukan lobi dan negosiasi untuk memberi wujud AEC tahun 2015. Dengan visi yang terarah, kemudian dalam dasa warsa 2020 makin sadar diri akan kapasitas yang perlu ditumvuhkan profesionalitas demi ikut merancang komunitas Asia sebagai wujud Abad Asia. Hal yang harus tetap diwaspadai adalah deklarasi AEC yang indah rumusannya jangan sampai hanya menjadi dokumen saja. Tentunya sekembali dari Singapore, delegasi Indonesia harus langsung mensosialisasikan sampai ke daerah potensial visi dokumen tersebut dengan kejelasan serangkaian langkah implementasi untuk para pelaku bisnis. Jangan sampai Indonesia hanya menjadi "gerbong" saja lantaran gagal sebagai "lokomotif". Kesinambungan dalam implementasi strategi para pemangku kepentingan (stakeholders) juga diharapkan yang bukan basa-basi impian ,indah saja dan yang bukan kerjaan "quick fix", tapi strategi jangka panjang dengan perencanaan dan program berjaringan kerja (networking). Secara formal institusional dalam kerjasama intra-ASEAN baru sejak 1993 di tingkat pemerintahan negeri ini memiliki bentuk dengan mekanismenya kesepakatan AFTA yang tahun 2003 sudah operasional. Di tingkat daerah pun sudah dirintis kesadaran pemahaman tidak hanya di tingkat pemerintahan daerah tetapi di kalangan pelaku bisnis dengan periodik melakukan analisa lintas batas (cross border analysis). Sayangnya, perkembangan negara anggota ASEAN dalam kerjasama ekonomi intra ASEAN melangkah melalui suatu pola yang tersendat sendat, ibarat suatu kelompok angsa terbang yang terbang sendiri sendiri bukan dalam kebersamaan meningkatkan kesejahteraan rakyat ASEAN. Lagi pula ada beberapa negara anggota ASEAN membuat FTA (Free Trade Agreement) bilateral negara negara non-ASEAN, Jepang, Korea Selatan, China, Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Uni Eropa (UE). Jadi, kekompakkan ASEAN belum mantap sebagai diharapkan. Kini saatnya, dalam perekonomian AEC dalam kebersamaan, harus menghindari dominasi yang kuat atas yang lebih lemah secara bertahap/gradual mulai tahun tahun ini memiliki minat (keen interest) dalam mendorong pembangunan ekonomi semua anggota yang masih kurang berkembang (weaker member states), dalam arti ‘yang kuat mendukung yang lemah melalui perdagangan dan investasi, serta peningkatan mutu infrastruktur manusia, pengetahuan dan fisik. Memasuki dasa warsa yang akan datang, gagasan untuk melangkah lebih jelas kearah memberi substansi dalam strategi implementasi merupakan angin segar dan fokus yang lebih matang bagi negara negara dan masyarakatnya. Bagi Indonesia, sebagai anggota ASEAN yang akan berperan serta dalam implementasi AEC, maka pelaku ekonominya, yakni yang berskala besar dan menengah, makin perlu membangun suatu operasi bisnis modern membuat manajemen lebih relevan tanpa rongrongan oknum birokrasi yang tidak bermoral. Sejak awal 1990an mulai banyak eksekutif dan manajer kita yang memiliki kompetensi profesional menurut standar Barat, khususnya Amerika. Kenyataan ini sebagai hasil pendidikan formal dengan berbagai loka karya dengan pendekatan Barat. Mereka memperoleh ketrampilan dan teknik pendekatan melalui lokakarya pemecahan masalah (problem solving skills), lokakarya dalam organisasi (in-house workshops) dan sampai lokakarya yang dikenal melalui "outbound training" model AS. Melalui pendidikan/pelatihan itu, ekskutif dan manajer kita makin menjadi profesional menurut model gaya AS, dengan memahami apa yang dimaksud dengan tujuan manajemen, seperti pencapaian laba, produktivitas dan efisiensi dalam operasi serta memahami apa artinya kepuasan dan loyalitas pelanggan. Namun, tuntutan pembentukan kapasitas (capacity building) manajemen terutama eselon manajemen menengah, bukan melulu keterampikan sikap pandang yang terlalu terfokus pada visi organisasi model Barat. Soalnya, isu yang kritikal adalah bahwa norma norma yang para kritisi bawa dari Barat itu menyebabkan kekakuan dalam berbisnis. Sikap pandang bahwa gaya manajemen Barat adalah universal yang dapat di-"copy" apa adanya, membuat diri eksekutif dan manajer Asia Timur termasuk ASEAN baik secara eksplisit maupun implisit mengalami semacam "pertentangan batin", apalagi dalam berinteraksi dengan masyarakat umum yang tidak pernah mengalami gaya pendidikan model Amerika yang dikenal. Di sinilah bangsa di negeri ini berhadapan dengan aspek budaya dalam manajemen. Budaya merupakan dasar bagi sistem nilai seseorang, yang pada gilirannya dalam pola perilaku. Setiap aspek kehidupan manusia digerakkan (governed) oleh nuansa kultural (cultural conditioning), khususnya bagaimana kita berpikir dan mersakan. Dalam setiap masyarakat ASEAN dan khususnya Indonesia, seorang ekskutif dan manajer baik dalam organisasi pemerintahan maupun bisnis (besar, menengah dan kecil) sektor riil: pertanian, perdagangan, industri, bank, jasa pariwisata dan transportasi baik di perkotaan maupun desa, eksekutif dan manajer tersebut tetap manusia dengan tradisi, sistem nilai dan kepercayaan yang ‘built-in’ dalam lingkungan masyarakat mereka. Memahami gaya manajemen Asia Timur termasuk ASEAN tidaklah dapat dikerjakan secara "quick fix", tetapi sesungguhnya suatu proses. Mempelajari dan memahami gaya manajemen Jepang, Korea Selatan, China dan negara negara ASEAN sendiri termasuk Indonesia merupakan suatu studi tersendiri yang membutuhkan "investasi dalam daya dan dana" yang memakan waktu cukup lama dan memerlukan motivasi tersendiri. Suatu paradigma yang luput dari perhatian banyak pengamat dan anggota manajemen kita sebagai ditulis John Naisbitt "Megatrends Asia: The Eight Asia Megatrends that are Changing the World” (1995) sebagai berikut : "... Apa yang terjadi di Asia dewasa ini merupakan perkembangan terpenting di dunia dewasa .... Modernisasi Asia (ingat, bukan westernisasi) akan membentuk kembali dunia saat kita bergerak ke arah millenium yang akan datang..." Disebutnya Asia, namun rupa-rupanya yang dimaksud adalah ASEAN Plus Three.) Modernisasi dulunya merupakan milik dunia Barat/AS, tetapi kini melalui keterbukaan justru bergeser menjadi miliknya Asia. Dalam masyarakat Asia Timur terdapat pengertian mengakar tentang perilaku berbudaya (civilised conduct) dengan menghargai "muka" (face) dan perasaan malu atau sungkan (shame culture) dalam membuat kesalahan, termasuk dalam manajemen. Hal tersebut bedanya dengan apa yang dibawakan oleh Barat atau yang berbudaya kebarat-baratan yang lebih rasional, menerapkan rasa bersalah (guilty feeling) dengan promosikan atau pemecatan (hire and fire) ataupun ganjaran dan hukuman (reward and punishment) tanpa pertimbangan kepekaan moral sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Masyarakat terdidik di negeri ini pun menyadari kemajuan dalam teknologi informasi (teknologi komputer, komunikasi, Internet dan facsimile), teknologi transportasi dan teknologi produksi (3 T) dan sarana pendidikan yang membuka daya pikir dalam ber-inovasi dan jiwa kewirausahaan terus mereka adaptasikan dalam mendayung maju mengisi abad 21 yang penuh perubahan dan tantangan. Jiwa kewirausahaan pelaku ekonomi di negeri ini yang justru makin banyak dalam organisasi masing masing berada di tingkat menengah (middle management) merupakan suatu motivator yang memberi makna dalam etos kerja keras dan cerdas (work hard and smart ethos) sebagai suatu nilai kultural yang sudah membudaya sejak dulu kala. Dengan menggali pengetahuan itu, maka secara konseptual/operasional bersama para ahli/akademisi dan pakar dalam badan penelitian dan pengembangan (balitbang) perbankan meyakinkan birokrasi pada level operasional, agar secara konkret menanggalkan mentalitas "bad governance", sehingga mau makin etis sekaligus bertanggung jawab terhadap pelayanan kepada masyarakat. Proses gradual dengan persiapan matang harus pula menjadi bentuk yang memiliki pendukung untuk memberi substansi riil yang saling memberi nilai (co-creation of values) atau "demi masyarakat dan demi keuntungan" (for society and for profit). (*) *) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi/bisnis Asia Timur; Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE UNTAR).

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007