Jakarta (ANTARA News) - Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam kasus Temasek Group (BUMN Singapura), khususnya menyangkut pembatasan pembelian saham maksimum hanya lima persen dari saham Indosat atau Telkomsel yang harus dilepas oleh `Temasek` dinilai bagus, namun banyak substansi keputusan yang lemah. "Putusan KPPU khususnya yang menyangkut pembatasan pembelian saham maksimum hanya lima persen dari saham Indosat atau Telkomsel yang harus dilepas oleh `Temasek`, walau masih dapat diperdebatkan, namun saya memberi apresiasi," kata mantan Ketua KPPU Sutrisno Iwantono di Jakarta, Kamis, saat ditanya mengenai kasus kepemilikan silang Temasek di Telkomsel dan Indosat. Keputusan KPPU antara lain sembilan pihak terlapor dalam kasus itu harus melepaskan seluruh kepemilikan saham di salah satu perusahaan yaitu Indosat atau Telkomsel dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan memiliki kekuatan hukum tetap. Namun masing-masing pembeli saham dibatasi pembeliannya lima persen dari total saham yang dilepas. Keputusan pembelian saham dibatasi lima persen, kata Iwantono, menghindari saham tersebut dibeli satu perusahaan saja oleh pihak tertentu serta menepis dugaan KPPU digunakan pihak tertentu untuk memaksa Singapura melepas saham dalam waktu singkat dan dengan harga murah. "Karena itu saya minta semua pihak jangan berburuk sangka kepada teman-teman di KPPU," katanya. Namun dari sisi substansi menurut Iwantono, masih banyak kelemahan. Mengenai Temasek harus melepaskan seluruh sahamnya dengan pilihan boleh di Indosat atau di Telkomsel, Iwantono mengatakan, artinya perusahaan Singapura tersebut hanya boleh memiliki saham di salah satu perusahaan tersebut, atau dilarang memiliki saham silang. "Padahal undang-undang tidak melarang kepemilikan silang, yang dilarang oleh undang-undang adalah kepemilikan silang secara mayoritas. Diktum ini melampaui ketentuan undang-undang sehingga sangat lemah nanti dalam pengujian di Pengadilan Negeri," katanya. Mengenai pengertian larangan memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, ia tetap berpendapat ukuran saham mayoritas adalah lebih dari 50 persen. Kalau tidak ada ukuran yang jelas akan menimbulkan ketidak pastian hukum. "Karena sekecil apapun jumlah saham yang dimiliki secara silang (`cross ownership`) berarti perusahaan di Indonesia terancam melanggar Undang-Undang No 5 Tahun 1999," katanya. Jika batasan ini yang dilakukan, maka akan sangat banyak perusahaan di Indonesia yang harus melepaskan sahamnya. Di berbagai industri perbankan, media masa cetak maupun elektronik, BUMN Karya-karya, industri kimia dll akan dengan mudah ditemukan. Putusan KPPU ini juga akan mengundang pihak-pihak tertentu untuk melaporkan pihak lain dengan tuduhan "cross ownership." Ia juga mengatakan keputusan anak perusahaan Temasek seperti Singapore Technologies Telemedia (STT), STT Communication, AMH Company, AMH, Indonesia Communication dinyatakan bersalah karena melakukan kepemilikan silang dan dihukum berat, sangat lemah dasar hukumnya. Sebab dalam skema yang digambarkan oleh KPPU, perusahaan-perusahaan ini tidak punya keterkaitan dengan PT Telkomsel, apalagi memiliki saham di Telkomsel. "Bagaimana dikatakan melakukan kepemilikan silang jika mereka sama sekali tidak memiliki saham di Telkomsel," katanya. Kalaupun mereka punya akses hanya terbatas pada Indosat, itupun secara tidak langsung. "Hal yang sama juga terjadi pada Singapore Telecommunication, dan Singapore Telecom Mobile, perusahaan-perusahaan ini bukan pemegang saham di Indosat, terus bagaimana mereka dihukum melakukan kepemilikan silang?," katanya. Tarif Tentang pengendalian Telkomsel oleh Temasek, Iwantono mengatakan, pemegang saham di Telkomsel adalah Singapore Telecom Mobile, dengan kepemilikan 35 persen. Sementara pemegang saham mayoritas adalah PT Telkom sebesar 65 persen, sehingga tidak mungkin Temasek dapat mengendalikan Telkomsel. Mengenai kerugian konsumen akibat praktek persaingan usaha yang tidak sehat sehingga tarif tinggi, ia mengatakan, perhitungannya tidak jelas. Perhitungan dengan mendasarkan perbandingan dengan harga di negera lain merupakan kesalahan fatal(*).

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007