Jakarta (ANTARA News) - Greenomics Indonesia mengingatkan bahwa Indonesia memiliki tiga posisi tawar yang perlu disodorkan dalam Sidang PBB tentang Perubahan Iklim di Bali 3-14 Desember, terkait dengan isu pemanasan global dan perubahan iklim. Menurut Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi, posisi tawar Indonesia tersebut berdasarkan nilai ekonomi hutan Indonesia sebagai salah satu negara penyerap karbon terbesar di dunia dan juga memiliki "amunisi besar" sebagai salah satu negara terbesar di dunia yang memiliki endapan karbon dalam kawasan hutannya. "Posisi tawar pertama yang dimiliki Indonesia adalah nilai ekonomi penyerapan karbon yang sangat signifikan," kata Elfian,di Jakarta, Senin. Indonesia memiliki sekitar 36,5 juta hektar kawasan konservasi dan hutan lindung ("kawasan lindung") yang masih berhutan (data Departemen Kehutanan/Dephut tahun 2005). Nilai ekonomi kawasan lindung Indonesia untuk penyerapan karbon ditaksir mencapai angka 105-113,7 miliar dolar Amerika atau setara dengan Rp945-1.024 triliun. Di samping penyerapan karbon dari kawasan lindung, Indonesia juga masih memiliki 38,7 juta hektar kawasan hutan produksi yang relatif masih berhutan (data Dephut tahun 2005), yang dapat berfungsi sebagai penyerap karbon dengan nilai ekonomi mencapai 111,46-120,74 miliar dolar atau setara dengan Rp1.003-1.086 triliun. Secara total, nilai ekonomi dari fungsi penyerapan karbon saja dari kawasan lindung dan hutan produksi Indonesia, nilainya mencapai 216,4-234,4 miliar dolar. Itu setara dengan Rp 1.947-2.110 triliun. Posisi tawar kedua, masih kata Elfian, adalah nilai ekonomi hutan Indonesia terhadap mekanisme REDD (Reducing Emissions from Deforestration and Degradation in Developing Countries/penurunan emisi karbon dari deforestasi di negara-negara berkembang) yang dibiayai negara-negara maju. Mekanisme REDD, menurut Greenomics, adalah memvakumkan praktik-praktik pembalakan dan konversi terhadap hutan produksi Indonesia. Greenomics secara tegas meminta Pemerintah Indonesia untuk tidak perlu terlalu ambisius dengan mekanisme tersebut karena mekanisme itu justru akan merendahkan nilai ekonomi hutan produksi Indonesia. "Jika negara-negara maju menginginkan hutan produksi Indonesia berada pada posisi zero deforestation (tidak ada aktivitas deforestasi terhadap hutan produksi Indonesia), maka donor negara-negara maju tersebut harus membayar 278,6 miliar dolar atau Rp 2.508 triliun sebagai kompensasi," ungkapnya. Posisi tawar ketiga yang dimiliki Indonesia yang disebut Elfian sebagai amunisi besar Indonesia adalah endapan karbon di kawasan hutan Indonesia hampir mencapai tujuh ribu megaton (mengutip data Butler tahun 2005), dengan nilai ekonomi sebesar 134,5 miliar dolar atau setara dengan Rp1.210 triliun. Elfian menjelaskan bahwa jika Indonesia "diminta" negara-negara maju untuk tidak melepas endapan tujuh ribu mega ton karbon tersebut ke atmosfer untuk mengurangi emisi global lewat pencegahan deforestasi, maka negara-negara maju harus membayar biaya kompensasi untuk Indonesia sebesar 134,5 miliar dolar atau Rp1.210 triliun tadi. Greenomics menilai REDD adalah bentuk politik persaingan dagang global melalui isu lingkungan. REDD secara terang-terangan menghambat percepatan pembangunan hutan tanaman, membatasi industri pulp dan kertas, dan menghadang industri sawit nasional untuk ekspansi dengan dalih lingkungan. "Padahal, negara-negara maju tersebut khawatir segmentasi pasar mereka di pasar internasional terganggu dengan produk-produk ekspor Indonesia. Kalau memang mereka serius dengan isu perubahan iklim dan pemanasan global, mengapa mereka hanya berani menurunkan emisi di bawah 5 persen hingga 2012 nanti," katanya. Untuk itu, Elfian menyimpulkan, Indonesia diminta harus ekstra hati-hati dengan isu perubahan iklim dan pemanasan global untuk menciptakan hambatan-hambatan dalam investasi dan perdagangan. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007