Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masih menunggu hasil laboratorium yang meneliti contoh sejumlah sumber air minum yang digunakan warga Jakarta Utara yang terserang diare dalam sepekan terakhir. Wakil Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Salimar Salim di Balaikota Jakarta, Selasa, mengatakan hasil laboratorium dan kepastian apakah sumber-sumber air itu merupakan penyebab terjadinya wabah diare baru akan diketahui dalam dua hari yang akan datang. "Hasil dari pengujian sample itu kita tunggu hingga dua hari yang akan datang. Sample yang kita uji diambil dari tiga lokasi, masing-masing dari air isi ulang, sumur dan hidran," katanya. Ia menambahkan bila dari sample air isi ulang ditemukan adanya bakteri atau penyebab terjadinya wabah diare, maka akan dilakukan pemberian sanksi berupa pencabutan sertifikat layak sehat yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan DKI milik pengelola air isi ulang tersebut. "Sesuai dengan ijin usaha yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan, persyaratan yang harus dimiliki adalah sertifikat layak sehat yang dikeluarkan oleh Dinkes, dan bila ada pelanggaran itu dapat dicabut," katanya. Sementara itu di tempat terpisah, Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto mengatakan penelitian terhadap sumber-sumber air minum yang diduga sebagai penyebab wabah diare itu harus dilakukan. "Kita harus teliti hal tersebut, namun yang tak kalah pentingnya adalah kesadaran masyarakat untuk menjaga dengan salah satu caranya memasak kembali air isi ulang yang dibelinya sebelum dikonsumsi," kata Wagub DKI. Salimar Salim dalam kesempatan itu juga menyatakan jumlah pasien di rumah sakit Koja pada Selasa (27/11) sudah menurun dibandingkan sebelumnya. "Di RS Koja dari 113 pasien turun menjadi 96 pasien dari jumlah masing-masing anak-anak 84 orang dan dewasa 12 orang," katanya. Penurunan jumlah pasien itu, masih menurut Salimar, antara lain disebabkan sudah mulai berfungsinya puskesmas dan rumah sakit di Jakarta Utara yang menangani diare dalam kondisi ringan hingga menengah sehingga RS Koja tidak dijadikan satu-satunya alternatif.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007