Jakarta (ANTARA News) - Tuduhan praktik dumping yang diajukan Indonesia terhadap produk baja canai panas (hot rolled coil/HRC) impor asal Cina, India, Rusia, Taiwan dan Thailand dinilai lemah. Ketua Umum Gabungan Asosiasi Perusahaan Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (Gamma), Ahmad Safiun, usai mengikuti dengar pendapat yang digelar Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), di Jakarta, mengatakan beberapa argumentasi dalam petisi anti dumping HRC yang berasal dari itu mudah dipatahkan. "Data produksi HRC nasional yang dinyatakan dengan angka indeks salah. Kalau itu indeks harusnya tidak ada satuan metrik ton. Kalau salah satu data dalam petisi tidak benar artinya petisinya tidak sah karena data tidak cocok dengan kenyataan," katanya. Safiun mengungkapkan petisi yang diajukan oleh PT Krakatau Steel (KS) yang merupakan Badan Usaha Milik Negara itu menyatakan indeks produksi baja nasional sejak 2003-2005 mengalami kenaikan padahal kenyataannya industri hilir HRC kekurangan bahan baku. "Buktinya SK Menteri Keuangan nomo 46 tahun 2004 yang menyatakan impor baja dan plat besi dibebaskan bea masuknya, kita justru kekurangan bahan baku besi baja," jelasnya. Hal lain yang dinilai melemahkan tuduhan dumping itu, lanjut Safiun, adalah batalnya verifikasi data ke negara eksportir (Cina) oleh KADI. "Jadi hanya pakai data yang diajukan petisioner," ujarnya. Kuasa Hukum lima eksportir HRC asal Rusia dan Thailan, A. Setiadi, menambahkan produk yang dituduh dumping tidak sama dengan yang diproduksi industri baja lokal sehingga tidak memenuhi aturan dumping. "Dia (KS) hanya bisa produksi HRC ukuran 1,8-2,5 mm. Padahal yang diimpor ukuran 1,2 mm dan 1,5 mm. Sedangkan prinsip dumping adalah produk sejenis," ujarnya. Selain itu, dalam perhitungan "injury" (kerugian), Setiadi menilai KADI melakukan kesalahan dengan tidak memasukkan biaya transportasi. "Mereka (KADI) tidak menghitung seluruh transaksi. Jadi ada sedikit kekeliruan karena persiapan petisi terburu-buru. Jumat ini (30/11) kami akan sampaikan dokumen pendukung,"tambahnya. Praktik dumping artinya eksportir menjual produk dengan harga lebih murah dari harga lokal. Setiadi menjelaskan harga normal di pasar domestik seharusnya dihitung dengan memasukkan biaya transportasi dan unsur keuntungan yang masuk akal selain biaya produksi. "Karena jika ditambah biaya transportasi, paling tidak harganya sama (antara yang impor dan produk lokal). Biaya produksinya antara kita sama, teknologi saja yang agak berbeda," jelasnya. Setiadi mencontohkan dengan perhitungan itu, salah satu kliennya dari Rusia yaitu Novolipetsk Steel yang dituduh melakukan dumping sebesar 12.71 persen bisa bebas dari tuduhan. Tuduhan dumping baru dapat terbukti jika ada hubungan sebab akibat antara "injury" dengan impor. Setiadi mengatakan dalam hal itu, KADI tidak dapat memberikan bukti yang memadai. "Jadi dalam petisinya, ada argumen bahwa karena impor naik, KS terpaksa menjual ke luar negeri. Dia mengalihkan pasar ke luar negeri. Padahal mestinya kalau ekspor untung, tapi ternyata rugi juga. Itu karena harga jual mereka lebih murah, justru mereka yang melakukan dumping," ungkapnya. Industri Hilir Terancam Safiun mengingatkan pemerintah, jika KADI memutuskan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk produk HRC impor maka hal itu justru akan menekan industri baja hilir. "Kalau kita harus impor dengan BMAD nanti industri kita yang kesulitan. Kalau kita harus beli dari Australia dan Eropa kan mahal," ujar Safiun. Sementara, industri HRC lokal, lanjut Safiun tidak dapat memenuhi kebutuhan bahan baku industri pengolahan logam dan besi. "Industri manufaktur di bidang pengerjaan logam dan mesin itu sekarang sedang turun pertumbuhannya, apalagi kalau nanti BBM naik terus. 50 persen pabriknya pasti tutup. Tidak ada pertumbuhan tapi pengurangan," tambahnya. Sejak kenaikan BBM, lanjut Safiun, industri kecil pengecoran logam yang tadinya berjumlah sekitar 340 sekarang tinggal 30 pabrik. "Anggota GAMMA tahun 1997 ada 350, sekarang tinggal 120. Jadi 50 persen dari itu (120) bakal kolaps karena sangat tergantung dari bahan baku impor," tegasnya. Penyelidikan dumping atas HRC impor dari lima negara itu dimulai pada pertengahan 2006. Dari hasil penyelidikan KADI ditemukan bahwa eksportir HRC dari lima negara itu telah melakukan dumping dengan margin dumping bervariasi antara 11,46 persen hingga 56,51 persen. Impor HRC dari lima negara tertuduh selama tiga tahun sebelum masa penyelidikan tercatat mengalami kenaikan 260 persen dari 2003 hingga 2005 yaitu dari 209.549 metrik ton menjadi 463.630 metrik ton pada 2004 dan menjadi 544.983 metrik ton pada 2005. Putusan akhir KADI atas kasus dumping baja akan diumumkan pada 27 Desember 2007.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007