Annapolis, Maryland (ANTARA News) - Amerika Serikat menyebut konferensi internasional mengenai Timur Tengah yang mereka selenggarakan sebagai suatu tonggak penting, namun acara yang digelar tergesa-gesa itu meninggalkan sejumlah pertanyaan dan keraguan yang semakin banyak atas harapan untuk perdamaian. Menteri Luar Negeri Perancis, Bernard Kouchner, menyambut konferensi tersebut namun menambahkan "Masyarakat memang sangat skeptis karena selama ini sudah ada begitu banyak usaha" untuk menghasilkan perdamaian tetapi hanya berlangsung singkat. Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Javier Solana, meminta konferensi yang dihadiri 50 negara dan berbagai organisasi itu, agar "memperhatikan pelajaran-pelajaran dari kekecewaan yang lalu." Moskow bahkan mengungkapkan kesiapan untuk menyelenggarakan sendiri pertemuan Timur Tengah pada Januari. Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Pangeran Saud al-Faisal, mengutarakan dengan sejelas-jelasnya bahwa mereka tidak akan mempertimbangkan permintaan Israel untuk membuka hubungan diplomatik, kecuali negara Yahudi itu mundur dari wilayah Palestina. Suriah mengirimkan wakil menteri luar negerinya untuk menghadiri konferensi itu, namun hal itu dilakukan setelah Amerika Serikat sepakat bahwa acara tersebut juga mengangkat masalah Dataran Tinggi Golan yang direbut Israel dalam perang tahun 1967. Konferensi itu tidak menghasilkan pernyataan terakhir atau dukungan Arab terhadap suatu proses perdamaian baru. "Jumpa pers" penutupan hanya berupa pernyataan pendek dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Condoleezza Rice, yang menutup acara tersebut dan dia bergegas pergi tanpa menyediakan waktu untuk menjawab pertanyaan wartawan. Seorang diplomat Arab yang minta namanya tidak disebut, menyatakan "tidak ada yang menimbulkan optimisme," dari konferensi tersebut. "Pihak Arab secara umum kecewa. Tidak ada komitmen yang jelas untuk mematuhi batas waktu, yang ada hanya janji untuk melakukan usaha." Scott Lasensky, seorang pakar Timur Tengah di Institut Perdamaian Amerika Serikat, tidak puas dengan pertemuan Annapolis tersebut. Dia mengatakan nilai konferensi itu lebih banyak pada simbolisme kehadiran Arab dibanding masalah pokoknya. Lasensky menyatakan bahwa dokumen bersama Palestina- Israel sangat tidak jelas bahkan tidak merencanakan masalah-masalah menonjol yang oleh kedua pihak tersebut dijanjikan akan mereka selesaikan dalam tahun mendatang. "Ini bukan pertanda bagus," katanya, seperti dilaporkan AFP dan DPA. Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, melalui konferensi tersebut sedang mencoba menangani masalah yang belum pernah bisa diselesaikan presiden AS selama hampir enam dasawarsa. Pembicaraan perdamaian Timur Tengah yang terakhir kali diselenggarakan Amerika Serikat berlangsung saat kepemimpinan Presiden Bill Clinton, namun proses itu bubar pada Januari 2001 karena kekerasan yang meningkat. Peta jalan damai Washington kini telah mengambilalih pimpinan dalam proses perdamaian dan tampaknya meminggirkan peran "Kuartet Timur Tengah". Kuartet yang terdiri atas Amerika Serikat, Rusia, Uni Eropa dan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu menyusun "peta jalan" perdamaian pada tahun 2003 dan peta jalan itu merupakan usaha internasional untuk mencapai kesepakatan perdamaian di Timur Tengah. Menurut kesepakatan antara Olmert dan Abbas dalam konferensi di Annapolis, Amerika Serikat akan mempunyai tanggung jawab utama untuk memantau pemenuhan kewajiban kedua pihak dalam peta jalan perdamaian. Pemimpin Palestina, Mahmud Abbas, dan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, setuju untuk bertemu setiap dua pekan dan ikut serta dalam mekanisme tiga pihak yang dibuat AS untuk mengawasi usaha membangun keyakinan lewat peta jalan perdamaian 2003. Menurut peta jalan itu, Israel harus menghentikan pembangunan pemukiman di tanah sengketa sedangkan pihak Palestina harus menghentikan kelompok garis keras yang menyerang Israel. Namun, kelompok garis keras Palestina yang menguasai Jalur Gaza, Hamas, menolak hasil konferensi dan bersikeras bahwa Abbas tidak punya hak untuk menentukan nasib bangsa Palestina. Petinggi Hamas, Mahmoud al-Zahar kepada para pendukungnya, Kamis pekan lalu, mengatakan mereka tidak akan mengakui keberadaan Israel. (*)

Copyright © ANTARA 2007