Jayapura (ANTARA) - Koalisi mogok kerja (moker) PT Freeport Indonesia dari sekitar 8.300 karyawan Freeport yang mogok hingga berbuntut pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak pada 2017 menuntut manajemen Freeport memberikan penjelasan terkait surat yang dikeluarkan oleh Gubernur Papua Lukas Enembe pada 14 Mei 2019

Markus Vim, salah seorang karyawan korban PHK Freeport pada 2017 yang tergabung dalam koalisi Moker Freeport di Jayapura, Rabu, mengatakan hingga kini, PT Freeport Indonesia tidak memberikan jawaban terkait surat yang pernah dikeluarkan oleh Gubernur Papua Lukas Enembe.

Surat penegasan yang diberikan oleh gubernur kepada PT Freeport hingga kini Moker tidak mengetahui jawaban dari PT Freeport Indonesia terkait surat dari Gubernur Papua.

Pada Kamis,14 Mei 2019 Gubernur Papua Lukas Enembe telah mengeluarkan surat keputusan yang berisi tiga poin yaitu memerintahkan manajemen PT Freeport dan perusahaan subkontraktor segera membayar upah dan hak-hak seluruh karyawan pelaku mogok kerja sebagaimana termuat dalam buku Perjanjian Kerja Bersama (PKB)  2015-2017 dan Pedoman Hubungan Industrial (PHI).

Pihak Freeport juga diminta untuk segera mempekerjakan kembali seluruh karyawan pelaku mogok kerja dan dilarang melakukan rekrutmen karyawan baru sebelum permasalahan ketenagakerjaan tersebut diselesaikan sampai tuntas.

"Bagi kami PT Freeport Indonesia hanya berdalih saja, dan apa yang kami lakukan sampai saat ini tetap bertahan dengan mogok. Karena kami sudah nyatakan mogok ini sah sesuai dengan undang-undang," katanya.

Markus menegaskan, pihaknya akan tetap bertahan dengan posisi mogok dan akan membuat gerakan di Timika yang lebih besar lagi.

Bagi dia, peringatan hari buruh Internasional 1 Mei (May Day) kali ini, mereka berharap negara harus mengambil sikap yang tegas dan menindak tegas manajemen PT Freeport Indonesia, karena hingga kini manajemen PT Freeport Indonesia tidak tunduk pada UU Nomor 13 Tahun 2003.

Dia menilai, manajemen PT Freeport telah melakukan penyeludupan hukum, hingga kini 8.300 buruh mogok kerja ini adalah korban dari penyeludupan hukum tersebut. Negara dinilai gagal menyelesaikan masalah ini, di mana 8.300 buruk mogok kerja ini juga merupakan bagian dari  tulanggung pungung ekonomi negara.

"Dari 17 Mei 2017 dan ini sudah tahun kedua para buruh  melakukan mogok kerja, dan sudah memakan 44 korban buruh  yang adalah 50 persen itu buruh orang asli Papua,"

Hingga kini manajemen PT Freeport Indonesia tidak bersikap untuk menyelesaikan persoalan mogok kerja. Manajemen selalu berdalih bahwa 8.300 buruh mogok kerja itu sudah dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Bagi kami mogok kerja dengan PHK itu berbeda pasal. Menurut UU Nomor 13 tahun 2003 kami sudah nyatakan mogok kami sah, sehingga kami akan bertahan dengan mogok kerja tidak akan berbicara mengenai PHK karena itu buat kami beda pasal," katanya.

Sekitar 8.300 karyawan PT Freeport Indonesia dan berbagai perusahaan subkontraktor menuntut pemerintah mengambil tindakan tegas terkait permasalahan mereka dengan manajemen perusahaan hingga berbuntut pada Pemutusan Hubungan Kerja sepihak pada 2017 akibat aksi mogok kerja yang dilakukan saat itu.

Mogok kerja buruh PT Freeport Indonesia bergabung bersama elem lainnya yakni LBH Papua, PAHAM Papua, KontraS Papua, ALDP Papua, FIM Papua, Papuan Voices,Koalisi Buruh, Mahasiswa, Rakyat Papua, Garda Papua menggelar aksi peringatan buruh Internasional 1 Mei (May Day) di Taman Imbi Jayapura, Distrik Jayapura Utara, Rabu siang.

Pewarta: Musa Abubar
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019