Naypyitaw, Myanmar (ANTARA News) - Pengunjukrasa, yang ikut dalam demonstrasi pada September 2007 di Yangon dan bakal diadili, ternyata bisa tidak akan dituntut, jika bertindak secara damai, kata polisi tertinggi Myanmar, Senin. "Hanya yang terlibat dalam pembakaran atau pemilikan gelap senjata akan diadili," kata kepala polisi Khin Yi dalam jumpa pers di Naypyitaw, ibukota baru Myanmar. Hal itu merupakan pernyataan pertama pemerintah atas nasib ribuan orang, yang ditangkap sejak unjukrasa menentang pemerintah di Yangon itu, bekas ibukota, yang dipimpin biksu Budha. Unjuk rasa itu, yang terbesar sejak 1988, berahir dengan penumpasan keras pada 26-27 September, yang menewaskan 15 orang, demikian angka resmi dari Pemerintah Myanmar. Namun, sejumlah kalangan mengemukakan, jumlah sebenarnya kematian itu diperkirakan melebihi 100 orang. Lebih dari 3.000 orang ditangkap dalam penumpasan itu dan sesudahnya. Dengan penangkapan masih terjadi sehari-hari, sulit mengetahui angka pasti orang ditahan akibat ikut dalam unjukrasa, yang dipicu lonjakan harga bahan bakar, diumumkan pada 15 Agustus. "Mereka menyatakan membebaskan 2.000 sampai 3.000 orang, tapi tak seorang pun tahu berapa banyak orang masih ditahan," kata kuasa usaha Amerika Serikat Shari Villarosa pekan lalu di Bangkok. Tanggapan Khin Yi itu muncul dalam jumpa pers di Naypyitaw, 350 kilometer utara Yangon, yang diadakan untuk mengumumkan kelanjutan peta jalan tujuh langkah menuju demokrasi dari pemerintah. Ke-54 anggota panitia perancang undang-undang dasar memulai kerja atas anggaran dasar baru untuk negara itu pada Senin, kata Menteri Penerangan Myanmar Kyaw Hsan. Penguasa memerlukan 15 tahun untuk menulis pedoman bagi undang-undang dasar baru, yang sekarang harus dirancang dan lalu melewati penentuan pendapat rakyat, kata rencana tujuh langkah penguasa itu. Alur panjang itu, yang dijuluki palsu oleh masyarakat antarbangsa, kehilangan semua kewibawaannya sejak unjukrasa September, yang dilihat sebagai seruan untuk perubahan nyata politik. Penguasa Myanmar pekan lalu menutup biara Yangon, yang menampung penderita HIV/AIDS dan mengusir biksunya. "Pemerintah menyegel biara Maggin kemarin sore dan mengusir biksunya," kata Aung Thein dari Liga Bangsa untuk Demokrasi-nya pemimpin demokrasi Aung San Suu Kyi. "Pemerintah tidak memberi mereka dokumen apa pun dan tidak mengatakan di bawah undang-undang apa tindakan itu diambil, sehingga kami tidak bisa memberikan bantuan hukum untuk mereka," tambahnya. Duta khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa Ibrahim Gambari mencela penutupan biara itu, yang dipakai menampung penderita HIV/AIDS dan menjadi tempat bernaung bagi pasien daerah, yang datang ke Yangon untuk obat. "Tindakan apa pun berlawanan dengan jiwa rujuk bangsa dan tindakan apa pun meremehkan pembicaraan pemerintah dengan yang menentang kebijakan pemerintah sebaiknya dihindari," kata Gambari di Phnom Penh. "Saya akan terus mengulanginya," katanya kepada wartawan dalam kunjungannya ke Kamboja pada lawatan kawasan sebelum kembali ke negara semula bernama Birma itu bulan mendatang untuk berunding lebih lanjut dengan pemerintah dan kemungkinan Suu Kyi. Kepala biksu biara Maggin sejak lama memunyai rekam jejak menyokong gerakan mendukung demokrasi. Ibrahim Gambari hari Kamis mengadakan pembicaraan dengan pejabat tertinggi Kamboja tentang kegawatan politik Myanmar saat ia mencoba mengerahkan dukungan kawasan untuk tugasnya atas negara tetutup itu. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007