Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah akan mengusulkan privatisasi sekitar 28 badan usaha milik negara (BUMN)kepada DPR pada Januari 2008. "Itu akan diusulkan ke DPR pada bulan pertama 2008 atau Januari," kata Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil, usai menghadiri rapat di Kantor Menko Perekonomian Jakarta, Senin malam. Menurut dia, yang sudah pasti diusulkan untuk diprivatisasi adalah PT Jasa Indonesia (Jasindo) dan sejumlah perusahaan perkebunan. "Yang perkebunan masih perlu dikonfirmasi lagi dengan Menteri Pertanian (Anton Apriyantono, red). Tapi pada hakekatnya tidak ada masalah karena program itu merupakan program lama yang akan dilanjutkan saja," katanya. Sofyan mengakui pihaknya (Kementerian BUMN) mengusulkan privatisasi 28 BUMN, namun usulan itu masih harus dibahas di tingkat pemerintah sebelum diajukan ke DPR. Pada rapat Senin malam, belum semua BUMN yang diusulkan untuk diprivatisasi mendapat persetujuan. "Menterinya banyak yang tidak datang, kita akan rapat lagi nanti 17 Desember," katanya. Mengenai pola privatisasi, Sofyan menjelaskan pemerintah akan menggunakan pola penawaran saham perdana (IPO) dan investor strategis. "Nanti pada saatnya akan diumumkan," katanya. Menurut Sofyan, pada 2008 pemerintah juga akan melakukan restrukturisasi sejumlah BUMN, antara lain PT Djakarta Lloyd, PT Bahtera Adiguna, dan PT Pengerukan Indonesia (Rukindo). "Itu adalah restrukturisasi, bukan privatisasi. Misalnya Bahana diusahakan akan ditake over oleh BUMN lain," katanya. Sementara itu, Sekretaris Menteri BUMN, M. Said Didu, mengemukakan target privatisasi netto pada 2008 adalah sebesar Rp1,5 triliun. "Tidak ada lagi (PMN), yang akan dibahas adalah penggunaan bagian laba BUMN (deviden) pemerintah," katanya. Mengenai penggunaan "windfall profit" atau keuntungan secara mendadak Pertamina karena meroketnya harga minyak sebesar sekitar Rp9 triliun, Didu mengatakan tidak tahu apakah akan menjadi deviden BUMN itu atau akan digunakan untuk keperluan lain. "Saya tidak tahu, belum ada pembahasan mengenai hal itu," katanya. Ia juga mengatakan "windfall profit" sebesar sekitar Rp9 triliun itu hanya terjadi jika harga minyak internasional mencapai 100 dolar AS per barel. "Itu kalau harga minyak 100 dolar AS, mudah-mudahan tidak," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2007