Jakarta (ANTARA) - Indonesia dan Bangladesh merupakan dua negara di wilayah Asia yang memiliki lebih banyak kesamaan daripada perbedaan. Kedua negara tersebut stabil secara politik dan kuat secara ekonomi.  

Dengan populasi 260 juta jiwa, Indonesia menjadi ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan muncul sebagai negara industri baru.

Sebagai anggota G20, Indonesia adalah ekonomi terbesar ke-16 dunia dengan PDB di atas 1 triliun dolar AS.

Sementara itu, Bangladesh adalah ekonomi yang sedang naik daun, dengan pertumbuhan tercepat ke-3 di dunia. Pertumbuhan ekonomi Bangladesh pada 2018 sebesar 7,8 persen dan pada tahun ini diproyeksikan akan meningkat hingga 8 persen.

Sementara Bangladesh dianggap sebagai salah satu ekonomi Frontier 5 atau ekonomi dengan pertumbuhan tertinggi dunia sehingga menjadi tujuan investasi yang menarik, Indonesia dan Bangladesh termasuk dalam The Next Eleven, yakni sebelas negara yang siap menjadi ekonomi terbesar di dunia pada abad 21, menurut publikasi Goldman Sachs Group, Inc.

Kategorisasi dan pelabelan ini berkaitan dengan tingkat pertumbuhan yang mengesankan yang ditunjukkan oleh Bangladesh sebagai salah satu pasar perbatasan, dan baik Indonesia maupun Bangladesh sebagai negara yang diperkirakan memiliki ekonomi terbesar di dunia pada abad ke-21.

Secara bilateral, atau lebih tepatnya, bilateral secara ekonomi, Indonesia dan Bangladesh berbagi hubungan dan kerja sama yang kuat dan progresif.

Dalam hal perdagangan, hubungan kedua negara terus meningkat setiap tahun. Pada 2018, total nilai perdagangan bilateral mencapai 1,97 miliar dolar AS, atau meningkat 48 persen sejak 2016.

Tren peningkatan ini berlanjut tahun ini, dengan total nilai perdagangan pada Januari-Februari mencapai 410 juta dolar AS, atau meningkat 11 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Dalam hal investasi aktual, ada beberapa investasi Indonesia di industri pakaian jadi dan sektor lain di Bangladesh, selain hampir 2 juta dolar AS investasi dari perusahaan Bangladesh di Indonesia sejak 2014.

Namun, menurut Duta Besar RI untuk Bangladesh Rina P Soemarno, fakta dan angka tersebut belum mencerminkan peluang besar yang bisa dikerjasamakan antara Indonesia dan Bangladesh.

"Volume perdagangan antara Indonesia dan Bangladesh juga sangat tidak seimbang. Untuk Indonesia, Bangladesh adalah mitra dagang terbesar ke-6, tetapi untuk Bangladesh, Indonesia bukanlah target yang signifikan untuk produk ekspornya,” kata Dubes Rina dalam Forum Bisnis dan Investasi di Dhaka, 26 April lalu.
 

Duta Besar RI untuk Bangladesh Rina P Soemarno. (ANTARA News/Yashinta Difa)


Forum tersebut diselenggarakan di sela-sela pameran Indonesia Fair 2019, sebagai upaya untuk menggali potensi kerja sama investasi Indonesia dan Bangladesh, selain perdagangan yang telah terjalin antara kedua negara.

Dalam pameran yang diselenggarakan pada 25-27 April 2019 itu, tercatat 40 pelaku usaha dan 13 BUMN Indonesia berpartisipasi, diantaranya PT Industri Kereta Api (INKA), PT Pertamina, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, PT Pindad, PT Waskita Karya, PT Len Industri, dan PT GMF AeroAsia.

Pameran tersebut berhasil membukukan total nilai transaksi dan potensi perdagangan barang dan jasa sebesar 186,5 juta dolar AS.

Meskipun jumlah tersebut menurun dibandingkan total nilai transaksi Indonesia Fair tahun sebelumnya yang mencapai 279,19 juta dolar AS, namun Dubes Rina menyebut banyak angka yang belum bisa dicatatkan dari segi investasi, karena masih ada hal-hal yang perlu ditindaklanjuti lebih jauh oleh sejumlah perusahaan Indonesia yang akan berinvestasi di Bangladesh.

"Itulah menurut saya keberhasilan yang lebih besar dari sekadar angka, dan keberhasilan yang merupakan investasi untuk nama baik Indonesia ke depannya di Bangladesh,” kata dia.

Tanda-tanda keberhasilan tersebut ditunjukkan oleh PT Waskita Karya, yang akan menindaklanjuti potensi lima proyek infrastruktur di Bangladesh yaitu pembangunan jalan layang, kompleks apartemen, kota raya terpadu, transmisi listrik, serta bandara.

Seiring dengan tingginya pertumbuhan ekonomi, Bangladesh tengah melakukan perencanaan ulang terhadap seluruh infrastrukturnya. Karena itu, Bangladesh membutuhkan mitra untuk menggarap investasi jangka panjang ini.

“Sejauh ini sudah ada tiga sampai lima perusahaan yang sudah berdiskusi dengan kami. Rencananya dalam waktu dekat akan kami tindaklanjuti dengan pertemuan di Jakarta,” kata staf Engineering, Procurement and Construction Division PT Waskita Karya Anton Frian Reynaldo kepada Antara di Dhaka, April lalu.

Anton, mewakili PT Waskita Karya, yang baru pertama kalinya mengeksplorasi pasar Bangladesh, tidak menyangka dengan respons dan antusias yang ia terima dari pelaku usaha di negara tersebut. Menurut dia, Bangladesh memiliki potensi besar yang melebihi ekspektasinya.

Meskipun baru pertama kali mencoba masuk ke Bangladesh, BUMN karya tersebut yakin bisa menggarap proyek-proyek konstruksi yang ditawarkan, karena sesuai dengan spesialisasi mereka selama ini.

“Misalnya proyek transmisi, di Bangladesh ini pasokan listrik sudah cukup tetapi transmisinya belum banyak. Waskita kan sudah menggarap proyek transmisi di Sumatera yang termasuk proyek strategis nasional, ini menjadi strong point kami untuk mengerjakan proyek yang sama di Bangladesh,” ujar Anton.

Selain proyek transmisi, perusahaan yang sudah mengembangkan sayap ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab itu juga memiliki portofolio yang baik untuk pembangunan jalan tol dan properti.

“Dan tolok ukur di kedua negara tersebut tidak jauh beda dengan di Bangladesh, jadi kami percaya diri bisa masuk ke sini,” kata Anton.

Selain sektor konstruksi, Indonesia mencoba mendekati sektor penerbangan Bangladesh dengan kehadiran PT GMF AeroAsia yang telah melayani jasa perawatan pesawat sejumlah maskapai seperti Biman Bangladesh, NOVOAIR, dan US-Bangla.

Menurut SVP Sales & Marketing PT GMF AeroAsia Mohamad Arif Faisal, kerja sama di sektor penerbangan masih bisa ditingkatkan mengingat pertumbuhan penumpang Bangladesh dalam lima tahun terakhir mencapai 64,7 persen dan penumpang internasional tumbuh 22,1 persen.

“Artinya ada potensi sektor penerbangan Bangladesh tumbuh terus, termasuk bisnis kargonya, sehingga diharapkan jumlah pesawat juga bertambah,” kata Arif.

Di sisi lain, bisnis maintenance, repair, dan operation (MRO) Bangladesh masih terbatas pada kapabilitas. Biman Bangladesh, misalnya, memiliki unit MRO tetapi hanya untuk pesawat mereka sendiri dan itu pun hanya sampai pengecekan minor.

SVP Sales & Marketing PT GMF AeroAsia Mohamad Arif Faisal (ANTARA News/Yashinta Difa)

Peluang ini lah yang sedang dijajaki GMF AeroAsia dengan mitranya, yakni Biman Bangladesh, melalui kerja sama yang lebih bersifat joint operation.

“Kami mungkin tidak perlu membangun hanggar baru di Bangladesh, tetapi melakukan joint operation menggunakan sebagian hanggar Biman Bangladesh yang bisa dimanfaatkan untuk perawatan pesawat mereka, maupun untuk mengerjakan perawatan pesawat dari NOVOAIR dan maskapai lain yang selama ini harus dibawa ke Jakarta dulu,” ujar Arif.

Selain kedua sektor tersebut, Bangladesh sangat menanti realisasi kerja sama di sektor energi, terutama gas alam cair (LNG) dan batu bara, dengan Indonesia.

Menurut Presiden Kamar Dagang dan Industri Indonesia-Bangladesh (IBCCI) Mohammed Riyadh Ali, Indonesia dianggap sebagai negara yang berpengalaman dalam konversi gas menjadi LNG.

“Kami perlu kerja sama seperti ini di masa depan. Karena kami akan memiliki banyak fasilitas LNG di sejumlah daerah. Perusahaan ekspor LNG dari Indonesia bisa datang dan berkontribusi,” tutur dia

Kerja sama ini diinisasi oleh Presiden Joko Widodo pada 2017 saat bertandang ke Bangladesh pada Januari 2018.

Sejak ditindaklanjuti pada tahun yang sama, Pertamina sepakat memasok LNG untuk Petrobangla. Dalam kesepakatan tersebut, Pertamina akan memasok satu juta ton LNG per tahun selama 10 tahun, dengan nilai kontrak mencapai 4 miliar dolar AS.

Untuk semakin menarik investasi di Bangladesh, otoritas negara tersebut telah menawarkan fasilitas kawasan ekonomi khusus (KEK) atau special economic zone kepada para investor Indonesia untuk mendirikan pabrik atau pergudangan.

“Kawasan ekonomi khusus akan menjadi strategi pemasaran yang sangat bagus bagi Indonesia, dan akan memfasilitasi pelaku usaha Indonesia untuk berinvestasi di Bangladesh,” tutur Riyadh.

Presiden Kamar Dagang dan Industri Indonesia-Bangladesh (IBCCI) Mohammed Riyadh Ali (ANTARA News/Yashinta Difa)


Sejauh ini sudah ada investor dari beberapa negara yang memanfaatkan fasilitas KEK di Bangladesh, antara lain Singapura dan Korea Selatan. Fasilitas investasi tersebut menawarkan insentif untuk bisnis yang berorientasi ekspor.

Menurut Dubes Rina, fasilitas KEK adalah layanan dari pemerintah Bangladesh yang perlu dipertimbangkan oleh Indonesia.

“Ini adalah hal yang baru bagi calon-calon investor Indonesia yang perlu dijajaki lebih lanjut karena memang memudahkan,” tutur dia.

KEK adalah area di mana peraturan bisnis dan perdagangan berbeda dari negara lain. KEK terletak di dalam perbatasan nasional suatu negara dengan beberapa tujuan, meliputi peningkatan perdagangan, peningkatan investasi, penciptaan lapangan kerja dan administrasi yang efektif.

Selain untuk meningkatkan investasi asing, termasuk dari Indonesia, penyediaan ribuan hektare lahan di Bangladesh untuk dijadikan KEK juga ditujukan untuk meningkatkan ekspor negara tersebut.

"Bangladesh mau memposisikan diri sebagai hub (pusat kegiatan), tetapi konektivitas mereka masih kurang. Mereka tidak punya deep-sea port. Mereka menawari investor asing, kalau mendirikan pabrik di Bangladesh, akan lebi

Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2019