Nusa Dua (ANTARA News) - Mantan Menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja menyayangkan tidak ada pencanangan penghentian eksploitasi lahan gambut bertepatan Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim. "Sayang sekal, kegiatan UNFCCC yang begitu mendunia tidak kita manfaatkan untuk sekaligus mencanangkan moratorium ekspoitasi lahan gambut," katanya kepada pers di Paviliun Indonesia di arena UNFCCC Nusa Dua, Bali, Kamis. Disebutkan bahwa 50 persen produk emisi sektor kehutanan berasal dari areal gambut, yang di Indonesia luasnya mencapai jutaan hektare, seperti tersebar di Kalimantan dan sebagian Sumatera. Sarwono yang disertai sejumlah rekannya anggota DPD RI, dari ITB dan Gubernur Kalbar Aspar Aswin, berpendapat bahwa moratorium eksploitasi gambut bisa menjadi perhatian dunia jika dicanangkan bertepatan penyelenggaraan UNFCCC di Nusa Dua, 3-14 Desember 2007. "Sayang sekali moment yang bisa menaikkan citra Indonesia dalam melestarikan gambut agar tidak lebih banyak lagi menghasilkan emisi karbon, dilewatkan begitu saja," tuturnya dalam paparan bersama Sekjen Alumni ITB, Aulia Prima Kurniawan. Meski terlambat, Sarwono berharap pemerintah segera melakukan tindakan tegas menghentikan eksploitasi lahan gambut, termasuk mencabut HPH (hak pengusahaan hutan) yang terlanjur diterbitkan. Hal itu mengingat lahan gambut akan banyak mengeluarkan emisi gas jika dieksploitasi. "Tapi kalau dilestarikan, tidak diutak-atik, justru tumbuhan di lahan gambut bisa membantu menyerap karbon," ucapya. Sarwono juga menekankan pentingnya mengedepankan konsep pelestarian hutan yang seiring dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya, seperti di Costarika. Konsep yang ditawarkan pemerintah seharusnya didasarkan kondisi geografis sebagai wilayah kepulauan dngan lautan yang luas, bukan sekedar memanfaatkan "iming-iming" dana adaptasi atau program pembangunan bersih (CDM). Untuk masyarakat pesisir harus ada program yang bisa dirasakan secara langsung, dengan menciptakan kepemimpinan yang tepat dalam perubahan iklim. Sementara Aulia Prima menambahkan, pemerintah perlu mengedepankan konsep yang jelas berkaitan dengan kesempatan konferensi perubahan iklim ini, bukannya terombang-ambing dengan keinginan negara-negara maju. "Sebagai negara yang dikenal dengan kawasan hutannya yang cukup luas, kita seharusnya memiliki posisi tawar yang lebih baik, bukan mudah terpengaruh kepentingan ekonomi," ucapnya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007