Kutai Kartanegara (ANTARA) - Puluhan ibu-ibu sibuk memilah sampah untuk memisahkan botol plastik maupun gelas bekas air mineral, termasuk bekas minuman ringan. Sebagian dari mereka ada yang memisahkan plastik sachet bekas pembungkus makanan ringan, kopi, susu, dan sachet bekas pembungkus apa saja.

Ini merupakan kegiatan inovatif yang setiap hari dilakukan oleh kaum ibu dan sebagian lelaki di Desa Loa Duri Ilir, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.Mereka sudah terbiasa melakukan ini sejak tahun 2017 lalu.

Bahkan pekerjaan yang dianggap remeh oleh sebagian orang tersebut, terkadang juga dibantu oleh Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) dan Bintara Pembina Desa (Babinsa), yakni kepolisian dan TNI yang bertugas di desa itu.

“Kami berupaya semaksimal mungkin melakukan transparansi dalam penggunaan dana desa (DD) yang dikucurkan APBN sejak tahun 2015, makanya bukan hanya elemen masyarakat desa yang kami libatkan dalam penyusunan musyawarah pembangunan, tapi juga Bhabinkamtibmas dan Babinsa,” ujar Kepala Desa Loa Duri Ilir, Fakhri Arsyad.

Proses musyawarah melibatkan masyarakat dilakukan karena hal ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa atau yang sering disebut dengan Undang-Undang Desa, sehingga melalui musyawarah ini banyak ide yang muncul sesuai dengan kebutuhan masing-masing elemen.

Sejumlah elemen masyarakat yang terlibat dalam musyawarah perencanaan pembangunan itu, antara lain kelompok usaha mikro desa, kelompok tani, Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), PKK, Posyandu, dan RT.

Sedangkan keterlibatan Bhabinkamtibmas dan Babinsa dalam proses pembangunan adalah sebagai bentuk pengawalan dan pencegahan dalam penggunaan anggaran yang masuk ke desa, terutama anggaran dari APBN melalui Dana Desa.

Hasil musyawarah yang melibatkan elemen masyarakat ini banyak memunculkan gagasan, inovasi, dan ide kreatif dalam membangun dan memajukan desa. Semakin banyak usulan yang dicetuskan dalam musyawarah, maka makin banyak pula pilihan inovasi desa yang akan digodok lagi menjadi pilihan prioritas yang masuk dalam anggaran pembangunan.

Salah satu inovasi yang ia munculkan beberapa tahun lalu dan dikembangkan hingga kini adalah pengolahan sampah. Dari hasil ini, banyak kaum ibu yang mendapatkan berkah. Bahkan kegiatan ini juga turut menyokong Desa Loa Duri berada di deretan 100 desa terbaik di Indonesia.

Sampah yang tertumpuk di desa ini disulap oleh kelompok masyarakat menjadi barang bernilai ekonomi, seperti map surat, tas, dompet dan lainnya yang dapat dijual ke berbagai kantor pemerintahan dan masyarakat umum, termasuk warga yang gemar mengoleksi suvenir sebagai bentuk penghargaan bagi mereka yang kreatif.

Munculnya ide mengelola sampah menjadi barang berharga ini akibat banyaknya jenis penyakit di desanya seperti malaria dan demam berdarah yang menyerang anak-anak hingga orang dewasa.

“Di area penumpukan sampah banyak nyamuk dan lalat yang ditengarai sebagai penyebar penyakit. Jika dibiarkan, maka banyak penyakit yang datang, maka sampah ini harus dimanfaatkan. Resep memanfaatkan tidak harus muluk, cukup berbuat dan sering berdiskusi, kemudian mengajak warga mengelola,” tutur Fakhri.

Dalam upaya meyakinkan warga kala itu, ia mengatakan jika ada kelompok pengolah sampah, maka wilayah desanya yang selama ini menjadi tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, ke depan selain dapat diminimalisasi sebagai lokasi penyebab penyakit juga dapat menjadi lapangan kerja karena sampah bisa diolah menjadi barang bernilai jual tinggi.

“Awalnya memang tidak mudah karena ada beberapa warga yang menyindir, kok kades urus sampah, seperti pemulung. Dulu juga waktu saya olah ban bekas jadi pot taman tahun 2014, dibilang juga kades ban bekas. Tapi setelah melihat ban bekas bermanfaat untuk kebersihan lingkungan dan bernilai ekonomi, kemudian mereka paham,” ucapnya.

Seiring dengan manfaat besar bagi masyarakat dari kemampuan meningkatkan ekonomi warga dari pengolahan sampah, kini banyak warga berburu sampah untuk dijual pada penampung barang bekas yang ia bentuk di desanya.

Dari kegiatan tersebut tentu saja manfaatnya bukan hanya untuk meminimalisir penyakit dan membersihkan lingkungan, tapi juga mampu mencetak lapangan kerja baru baik bagi pencari sampah, penampung, hingga kelompok kreatif yang mengelola sampah menjadi berkah.
Ibu-ibu warga yang tergabung dalam kelompok usaha mikro Desa Loa Duri Ilir, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara, sedang melakukan kegiatan daur ulang sampah menjadi barang bernilai jual (ANTARA/M.Ghofar)


Contoh Nyata

Ketika rombongan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Provinsi Kaltim mengunjungi desa itu baru-baru ini, Helvin, selaku Kasi Pengembangan Kapasitas Masyarakat, mengaku salut atas kekompakan kelompok usaha mikro di Desa Loa Duri Ilir yang kreatif dan inovatif dalam mengolah sampah.

Ia memberi apresiasi tinggi setelah melihat kekompakan warga berhasil mengubah sampah menjadi pot dan souvenir bernilai jual tinggi, sehingga diharapkan desa lain mau mencontoh yang tentunya disesuaikan dengan potensi di desa masing-masing.

Saat ini Desa Loa Duri Ilir sedang membuat desain untuk pengembangan olahan sampah, yakni Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) demi memudahkan pembuangan hingga pengelolaannya, sehingga desa ini layak mendapat bantuan pengembangan.

Desa Loa Duri Ilir mengolah sampah untuk dijadikan aneka barang bernilai tinggi, seperti dari ban mobil bekas diolah menjadi pot bunga dan pagar taman, kemudian sampah plastik diolah menjadi map dan tas.

Inovasi pengolahan sampah ini mampu menyerap tenaga kerja dari beberapa kelompok perempuan di desa setempat, sehingga mampu mendongkrak ekonomi keluarga.

Namun, untuk pengembangan menjadi TPST, Kepala Desa masih belum bisa membangunnya karena anggaran yang terbatas meski desainnya sudah dibuat.Untuk itu saya berharap ada pihak ketiga atau dari pemerintah yang bisa membantu pembangunan TPST.

Menurut Fakhri Arsyad, dalam pengelolaan sampah rumah tangga, pihaknya telah mendirikan bank sampah dan kios sampah, sehingga melalui dua wadah ini terjadi kegiatan transaksi jual beli sampah maupun hasil kerajinan tangan.

Sedangkan untuk manajemen pengelolaan barang dari sampah, desa ini menerapkan sesuatu yang baru, yakni bagi warga yang ingin mengurus surat di kantor desa dan memerlukan map surat, diwajibkan membeli map hasil olahan kaum ibu di desa itu.

Kemudian bagi ibu-ibu yang akan mendapatkan vitamin dan makanan tambahan bagi anaknya, diwajibkan membawa sampah ke Posyandu saat dilakukan pemeriksaan kesehatan dan menimbang bayi untuk mengetahui perkembangan bayinya. Begitu pula dengan lansia yang akan ke Posyandu, pun penerapannya sama.

Sampah, katanya, seharusnya menjadi berkah, bukan menjadi masalah, asalkan semua komponen masyarakat peduli dan mau mengelola sampah.Jika setiap orang mau berbuat, apalagi kreatif, diyakini tidak ada barang yang sia-sia, namun semuanya dipastikan menjadi berharga.

“Tidak masalah desa kami dijadikan tempat pembuangan sampah dari desa sekitar, akan tetapi sampah yang dibuang di desa kami akan disulap menjadi barang berharga, sampah juga bisa dijadikan pupuk organik yang bisa bernilai jual tinggi untuk menambah pendapatan masyarakat," katanya.

Sedangkan dalam usaha membangun pabrik pengolah sampah terpadu, ia mengharap adanya bantuan dari pemerintah baik pusat, provinsi, maupun kabupaten, bahkan dari pemerhati atau dari perusahaan sekalipun, karena untuk mendirikan TPST dibutuhkan biaya lumayan besar. Saat ini desain TPST sudah ia tuntaskan.
Sejumlah produk hasil olahan dari sampah bekas yang bernilai jual tinggi, hasil karya ibu-ibu warga Desa Loa Duri Ilir yang tergabung dalam kelompok usaha kecil menengah (UKM) (ANTARA/M.Ghofar)


100 desa terbaik

Berkat pembangunan berbagai bidang yang terus dikebut oleh kades bersama masyarakatnya, termasuk adanya inovasi dalam pengolahan sampah, kini Loa Duri Ilir masuk dalam jajaran 100 desa terbaik di nusantara.

Menurut Kepala DPMPD Provinsi Kaltim M Jauhar Efendi, Loa Duri Ilir mampu bersaing dengan 74 ribu lebih desa di Indonesia, sehingga ia mengaku bersyukur atas kinerja kades dibantu elemen masyarakat yang bersama-sama dalam membangun desa.

Hasil penilaian yang dilakukan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi di tahun 2018, Desa Loa Duri Ilir berada di posisi ke- 43 sebagai desa dengan Indeks Desa Membangun (IDM) cukup tinggi, sehingga otomatis masuk dalam 100 desa terbaik.

Menurut dia, banyak indikator penilaian untuk menentukan IDM, diantaranya aksesibilitas menuju fasilitas kesehatan, pendidikan, layanan pemerintahan, dan tingkat pembangunan infrastruktur desa, sehingga desa lain yang masih tertinggal atau berkembang, diharapkan memenuhi kategori sesuai yang tercantum dalam IDM.

Setelah masuk dalam 100 desa terbaik nasional, Kepala Desa Loa Duri Ilir, Fakhri Arsyad, ketika ditanya perasaannya, mengaku tidak terlalu bangga, karena kebanggaan justru akan menjadikannya berhenti berkarya, padahal masih banyak hal yang harus dikembangkan untuk menuju desa lebih baik, termasuk rencana pembangunan TPST yang hingga kini belum kesampaian.

Namun demikian, gurat bahagia di wajahnya tidak bisa disembunyikan ketika ia bercerita tentang keberhasilan desanya menjadi mandiri, kemudian mendapat undangan dari presiden untuk menerima penghargaan, dan ketika berhasil swafoto dengan Presiden Joko Widodo tahun 2018 lalu.
Kepala Desa Loa Duri Ilir, Fakhri Arsyad saat berfoto selfie dengan Presiden Joko Widodo (Dukumentasi pribadi)


“Kalau foto yang ini, tanggal 20 Februari 2019 di Convention Center, Ancol. Ini adalah foto jepretan Pak Jokowi yang mengajak saya selfie (swafoto). Saat itu semua kades berprestasi diundang untuk mendapatkan penghargaan karena menjadi desa mandiri,” ujar Fakhri sambil menunjukkan hasil swafoto antara dia dan presiden.

Ia menceritakan tentang swafoto itu. Ketika itu presiden baru saja menyelesaikan sesi tanya jawab dengan 100 kades yang diundang ke Ancol. Kemudian Presiden Jokowi dengan pengawalan Paspampres akan ke luar ruangan dan melewati deretan kursi para kades.

Dalam perjalanan melewati ratusan kursi tersebut, lanjut Fakhri, banyak kades yang minta foto bersama Jokowi, sehingga ia merasa kesulitan mendekat, apalagi pengawalan Paspampres juga ketat, sehingga ia harus berpikir keras agar bisa foto bersama presiden.

“Waktu itu saya langsung teriak, Kades dari Kalimantan belum foto bareng. Presiden langsung menoleh ke arah saya dan panggil saya. Ketika saya mendekat, HP saya diambil Pak Jokowi dan langsung ajak foto. Jadi swafoto ini adalah presiden yang jepret. Di sini saya merasa bahwa presiden ini merupakan sosok yang merakyat,” kenang Fakhri.

Mengingat kenangan manis para kades ketika diundang presiden, maka sepatutnya pemerintah terus mengagendakan pertemuan antara kepala negara dengan kepala desa berprestasi di bidang apapun, baik prestasi atas nama kades maupun prestasi atas nama desa.

Hal ini selain untuk memacu desa mandiri mempertahankan statusnya dan lebih kreatif dalam inovasi pembangunan, juga untuk memicu desa lain berlomba-lomba meningkatkan pembangunan, sehingga ke depan tidak ada lagi desa dengan status sangat tertinggal. Dukungan anggaran juga diperlukan untuk mengangkat status desa. 

Baca juga: Bangunjiwo membangun keunggulan sambil merawat tradisi

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019