Markas PBB (ANTARA News) - Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mensahkan resolusi yang tidak mengikat yang meminta penangguhan hukuman mati, dan mengatasi protes dari sejumlah negara yang mengatakan bahwa penangguhan itu telah mengurangi kedaulatan mereka. Resolusi itu, yang mendesakan "moratorium eksekusi dengan maksud untuk membatalkan hukuman mati" disahkan dengan 104 banding 54 suara, dengan 29 negara abstein. "Resolusi itu bukan satu campur tangan, tapi kami minta setiap anggota PBB untuk melaksanakan resolusi itu, dan juga terbuka pada debat mengenai hukuman mati tersebut," demikian komantar Menteri Luar Negeri (Menlu) Italia, Massimo D`Alema. "Penangguhan itu merupakan kesempatan penting bagi pembahasan internasional," ujarnya kepada wartawan. Italia, yang berbicara atas nama Uni Eropa (UE), merupakan pendukung keras resolusi itu. Dua langkah yang sama pada 1990-an telah gagal di majelis itu. Naskah resolusi itu tak sampai minta sekaligus penghapusan segera (hukuman mati), tidak memiliki kekuatan hukum tapi pendukungnya mengatakan resolusi itu memiliki otoritas moral yang sangat kuat". Di antara negara yang memilih menentang resolusi itu adalah Mesir, Iran, Singapura, AS dan sekelompok negara Karibea. Sebanyak 87 negara -- termasuk ke 27 negara UE, lebih dari 12 negara Amerika Latin serta delapan negara Afrika -- telah memperkenalkan secara bersama resolusi itu, meskipun penentangnya melihat EU sebagai kekuatan pendorongnya. Resolusi itu mendapat beberapa suara tambahan di Majelis Umum sejak disahkan oleh komisi hak asasi manusia PBB bulan lalu dengan suara 99 banding 52 dengan 33 abstein. Barbados, salah satu penentang paling keras langkah itu, mengatakan pendukung (resolusi tersebut) telah berusaha untuk menerapkan keinginan mereka pada negara lain dan bahwa mereka telah mengancam dengan penarikan bantuan karena masalah itu. "Hukuman mati tetap sah menurut hukum internasional dan Barbados ingin menggunakan hak kedaulatannya untuk menggunakannya sebagai pencegah bagi kejahatan yang sangat serius," kata Mohammed Deia, sekretaris pertama Barbados. "Melebihi semua itu adalah kenyataan sederhana bahwa masalah hukuman mati pada dasarnya merupakan satu dari pengadilan kejahatan seperti yang dijalankan dan diperkuat dalam sistim hukum nasional," katanya. Ia menyebutkan bahwa Barbados sudah tidak melakukan eksekusi dalam beberapa dasawarsa tapi masih mempertahankan hak untuk melakukannya. AS memilih menentang tapi tetap santai terhadap kemajuan resolusi itu hingga pemilihan. Michele Montas, Juru Bicara Sekretaris Jenderal (Sesjen) PBB, Ban Ki-moon, mengatakan bahwa bosnya mengambut baik pemilihan itu. "Ini merupakan bukti lagi kecenderungan ke arah penghapusan pada akhirnya hukuman mati," katanya. Menurut kelompok hak asasi manusia, Amnesti Internasional, ada 133 negara telah menghapuskan hukuman mati dalam undang-undang atau praktiknya. Para penentang penangguhan itu, bgaimanapun, mengatakan lebih dari 100 negara mempertahankan hukuman mati berdasar statusnya, meskipun mereka tidak semua menggunakannya. Cina, Iran, Irak, Amerika Serikat (AS), Pakistan dan Sudan bertanggungjawab atas sekitar 90 persen dari semua eksekusi di seluruh dunia, demikian catatan Amnesti Internasional, seperti dikutip Reuters. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007