Surabaya (ANTARA News) - Pemerintah memutuskan untuk memperpanjang batas waktu penerapan sistem TV Jaringan dari paling lambat 28 Desember 2007 menjadi 28 Desember 2009. Menteri Komunikasi dan Informasi Muhammad Nuh DEA menjelaskan, penyesuaian batas akhir pelaksanaan sistem TV Jaringan itu ditetapkan mengingat masih banyaknya kendala yang dihadapi, baik dari sisi regulasi maupun infrastrukturnya. Rilis Dekominfo yang diterima ANTARA News, Jumat, menyebutkan penyesuaian batas akhir pelaksanaan TV Jaringan yang diamanatkan UU 32/2002 tentang Penyiaran itu dituangkan dalam Peraturan Menkominfo Nomor 32/Per/M.KOMINFO/12/2007. Keputusan itu disampaikan langsung Menkominfo Prof Ir Mohammad Nuh DEA kepada pengurus Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) di kantornya, Jalan Merdeka Barat Nomor 9, Jakarta (27/12). "Dikeluarkannya peraturan ini bukan berarti pemerintah menolak terhadap substansi dalam undang-undang itu, tapi dalam berbagai kajian pemerintah memandang perlu untuk melakukan penyesuaian terhadap pelaksanaan sistem televisi berjaringan, karena kita memang perlu waktu," kata Mohammad Nuh. Menurut mantan rektor ITS Surabaya itu, penerapan sistem stasiun jaringan mengalami beberapa kendala dan mengalami keterlambatan dalam pelaksanaannya dikarenakan beberapa aspek, diantaranya aspek regulasi, berkait dengan adanya proses constitutional review di Mahkamah Konstitusi pada undang-undang itu. Selain itu, ada proses judicial review di Mahkamah Agung pada PP Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. "Secara teknis, ketersediaan infrastruktur untuk menghubungkan induk atau anggota stasiun jaringan dengan stasiun relay di wilayah propinsi yang sama, masih terbatas," katanya. Kendala lain bersifat kelembagaan yakni diperlukan waktu dalam memecah aset perusahaan menjadi beberapa badan hukum yang terpisah, khususnya bagi lembaga penyiaran swasta yang sudah "go public" yang tentu perlu kesepakatan para pemegang saham. "Atas beberapa kendala itulah, peraturan penyesuaian pelaksanaanya dikeluarkan, tapi dalam jangka waktu dua tahun ke depan akan disiapkan enam langkah agar batas akhir pelaksanaan pada 28 Desember 2009 nanti dapat benar-benar terlaksana," katanya. Enam langkah sejak Januari tahun 2008 itu menyangkut keterkaitan UU Penyiaran dengan peraturan perundangan-undangan lainnya yang sedikitnya perlu ada 14 undang-undang yang terkait dengan persoalan pelaksanaan sistem televisi berjaringan. Langkah lainnya, terkait aspek pengembangan stasiun lokal, aspek teknis, aspek perizinan, aspek penentuan wilayah layanan siaran, dan aspek kebijakan sistem stasiun jaringan. "Pemerintah memandang sistem stasiun jaringan ditujukan untuk pemberdayaan televisi lokal yang bertujuan agar adanya keseimbangan informasi antara pusat dan daerah, berkembangnya industri lokal yang terkait dengan bidang penyiaran, pemberdayaan sumber daya lokal, serta tersebarnya kepemilikan dan konten lokal disetiap daerah," katanya. Intervensi BPS Dalam kesempatan itu, Menkominfo Prof Ir Mohammad Nuh DEA juga membantah bila pemerintah melakukan intervensi terhadap data-data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), sehingga terjadi rekayasa metodologi penghitungan yang dinilai para pakar menghasilkan angka yang tidak benar. "Salah satu tugas pokok Depkominfo adalah menyampaikan informasi yang sebenarnya terhadap program-program yang dijalankan pemerintah, baik yang berhasil maupun yang gagal. Jadi, tidak ada sedikit pun upaya intervensi terhadap data-data BPS untuk kepentingan pemerintah. Saya berani jamin itu," katanya. Menurut dia, silang pendapat tentang data kini menjadi polemik dan dikesankan seolah-olah pemerintah melakukan intervensi terhadap BPS, padahal pemerintah menjaga benar kewenangan BPS sebagai sebuah badan yang pekerjaannya mengumpulkan dan mengeluarkan data sebagai bagian untuk pembuatan kebijakan. "Upaya intervensi hanya akan menyebabkan distorsi di masyarakat, karena itu tidak ada upaya pemerintah untuk mengintervensi data ataupun metodologi penghitungan yang dilakukan BPS. Pemerintah berharap data yang disampaikan BPS harus dibandingkan dengan data pula, jangan dibandingkan atau dicampuradukkan dengan persepsi, karena memunculkan subjektivitas," katanya. Oleh karena itu, katanya, pemerintah tidak mempermasalahkan perbedaan pendapat yang memang tak bisa dihindari, tapi yang harus dipegang dalam perbedaan itu ada pada data yang jelas, bukan pada persepsi yang penuh dengan subjektivitas.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007