Surabaya (ANTARA News) - Tak lebih dari empat perkara di Jawa Timur yang menjadi perkara dengan dampak agak berbobot selama 2007. Empat perkara itu adalah lumpur Lapindo, pembakaran Pasar Turi, ledakan "pabrik detonator" atau bondet (bom ikan) di Pasuruan, dan Pilkada (di Batu dan Bojonegoro). Lumpur merupakan perkara yang paling lama menjadi tunggakan perkara dan bakal terus menjadi persoalan pada 2008, karena lumpur di kawasan eksplorasi Lapindo Brantas Inc itu meluap sejak 29 Mei 2006. Sebutlah perkara lumpur Lapindo yang menjadi perkara pidana sejak pertengahan Juni 2006, namun hingga akhir tahun 2007 agaknya tak kunjung selesai. Namun, perkara lumpur Lapindo juga dipersoalkan sebagai perkara perdata di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dan sudah diputuskan pada 27 Desember 2007. Putusan dalam perkara perdata itu menyatakan Lapindo tidak terbukti bersalah melakukan perbuatan melawan hukum dalam kasus luapan lumpur di Porong, Sidoarjo, Jatim itu. Majelis Hakim PN Jaksel yang diketuai Wahjono menyatakan tergugat tidak dapat dinyatakan melanggar hukum karena luapan lumpur adalah fenomena alam. "Ahli (saksi ahli) tidak dapat menjelaskan penyebab semburan lumpur," kata hakim anggota I Ketut Manika menyebut alasan putusannya. Sementara itu, kata majelis hakim, saksi dan ahli yang diajukan Lapindo dan tergugat lainnya menegaskan bahwa semburan lumpur adalah murni fenomena alam. "Karena itu, gugatan Walhi harus ditolak seluruhnya, karena Lapindo tidak terbukti melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan," katanya. Namun, majelis hakim juga tetap mewajibkan para tergugat untuk memenuhi tanggung jawab moral, yaitu berusaha menghentikan semburan/luapan lumpur. Sebelumnya, Lapindo juga dibebaskan dari gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) oleh Majelis Hakim PN Jakarta Pusat. Dalam amar putusannya, majelis hakim menolak tudingan YLBHI bahwa Lapindo telah mengabaikan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) para korban luapan lumpur, karena Lapindo telah mengeluarkan banyak biaya. Pidana Ditunda Kejelasan perkara perdata untuk lumpur Lapindo yang dimenangkan Lapindo agaknya tidak diikuti kejelasan dalam perkara pidana yang masih "bolak-balik" polisi-jaksa. Namun, di penghujung akhir tahun 2007 muncul pengakuan menarik dari Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur Irjen Pol Herman S Sumawiredja dalam Konferensi Pers Akhir Tahun 2007 di Mapolda Jatim (27/12). "Saya lakukan diskresi (bebas ambil keputusan sendiri) dengan menunda pemberkasan perkara lumpur Lapindo hingga proses pembayaran ganti rugi telah selesai 100 persen sesuai Perpres 14/2007," katanya. Saat ini, katanya, sedang ada proses pembayaran ganti rugi dan kalau proses itu diintervensi dengan KUHP (proses hukum), maka akan berakibat korban lumpur dirugikan karena proses ganti rugi menjadi terpengaruh. Didampingi Wakapolda Jatim Brigjen Pol Sugiyono dan Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Dra Pudji Astuti MM, ia mengatakan pihaknya menerapkan diskresi dengan dasar pertimbangan untuk kepentingan rakyat. "Saya sudah jelaskan soal itu kepada DPR RI dan Komnas HAM, karena saya sudah mempertimbangkan bila perkara itu diteruskan dan bila dihentikan akan sama-sama merugikan," katanya. Menurut orang nomer satu di Polda Jatim itu, perkara lumpur Lapindo bila diteruskan tanpa "factual proving" (pembuktian faktual) akan ada dua kemungkinan yakni Lapindo menang atau Lapindo kalah. "Bila Lapindo menang akibat pembuktian yang lemah, maka proses ganti rugi akan terhenti, sehingga rakyat dirugikan, tapi bila Lapindo kalah maka Lapindo dimungkinkan menggugat secara perdata sehingga rakyat perlu menunggu 1-2 tahun lagi dan Lapindo mungkin akan diputus pailit, sehingga ganti rugi tidak terbayar," katanya. Sebaliknya, katanya, bila perkara itu dihentikan pun, maka proses pembayaran ganti rugi yang sudah berjalan 20 persen akan terhenti, sehingga nasib rakyat korban lumpur akan semakin sengsara. Mantan Kapolda Sumsel itu mengatakan pihaknya menerapkan diskresi untuk memberikan jaminan proses ganti rugi yang sudah diberikan Lapindo sebesar 20 persen pada tahap pertama akan berlanjut pada pembayaran sisa ganti rugi sebesar 80 persen. "Pemberkasan perkara lumpur Lapindo sendiri bukan hal yang mudah, karena pembuktian secara teoritis memang ada dua yakni lumpur terjadi akibat pengeboran dan lumpur bersifat mud vulcano. Saya sendiri meyakini pengeboran sebagai penyebab, tapi pembuktian secara faktual tentang hal itu masih lemah, sehingga berbahaya," katanya. Oleh karena itu, katanya, pihaknya memilih cara untuk melindungi korban lumpur dan menjaga munculnya anarkhisme, sedangkan aspek penegakan hukum (gakkum) dalam perkara itu ditunda hingga pembayaran ganti rugi dengan format jual beli (Perpres 14/2007) pun selesai. "Karena itu, saya tunda dulu untuk kepentingan rakyat. Tidak ada deal-deal dengan siapa pun dan dalam bentuk apa pun, termasuk dengan Lapindo. Saya sengaja mendesain seperti itu untuk rakyat, karena kalau ganti rugi sudah selesai tetap akan saya lanjutkan pidana-nya," katanya.

Pewarta: Oleh Edy M Ya`kub
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008