Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunggu hasil analisis pemeriksaan dokter untuk menjadwalkan pemanggilan kembali mantan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Roesdihardjo. Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis, mengatakan Roesdihardjo yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi pungutan liar di Kedubes RI di Kuala Lumpur, Malaysia, dirawat di rumah sakit Medistra, Jakarta, sejak 28 Desember 2007. Mantan Kapolri itu telah ditetapkan sebagai tersangka sejak Maret 2007. Berkas perkara Roesdihardjo bersama dengan barang buktinya telah diserahkan dari penyidik KPK kepada penuntut umum. "Tetapi untuk pemanggilan yang bersangkutan, KPK harus menunggu hasil analisis dokter yang memeriksanya," ujar Chandra. Chandra menjelaskan, Roesdihardjo dirawat karena komplikasi penyalit saluran kemih yang dideritanya. Roesdihardjo telah beberapa kali dimintai keterangan oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi pungutan liar di Kedubes RI Kuala Lumpur, Malaysia. Menurut pengakuan Kabid Imigrasi KBRI Kuala Lumpur, Arihken Tarigan, Roesdihardjo turut menikmati hasil pungutan liar tersebut. Setiap bulan, menurut Arihken, Duta besar RI di Malaysia, termasuk Roesdihardjo, mendapatkan "jatah" 30.000 hingga 40.000 Ringgit Malaysia (RM). Wakil Dubes mendapatkan 10.000 hingga 15.000 RM setiap bulan, sedangkan staf KBRI Kuala Lumpur mendapatkan ribuan ringgit setiap bulannya. Menurut Chandra, KPK masih menghitung jumlah uang yang dinikmati oleh Roesdihardjo selama menjabat Dubes untuk Malaysia sejak 2004 hingga 2007. Berkas perkara Roesdihardjo, lanjut dia, akan disatukan dengan berkas perkara Arihken. Mantan Dubes untuk Malaysia sebelum Roesdihardjo, Hadi A Warayabi, telah lebih dulu disidangkan di Pengadilan khusus tindak pidana korupsi dan divonis 2,5 tahun penjara. Warayabi ditahan oleh KPK pada 27 Juni 2007. Ia mengaku merasa dikelabui oleh para bawahannya, karena tidak pernah dilaporkan soal adanya SK ganda tentang pungutan biaya keimigrasian di Kedubes RI di Malaysia. SK ganda No 021/SK-DB/0799 tertanggal 20 Juli 1999 itu memungut tarif keimigrasian lebih tinggi dari yang seharusnya. Tarif yang disetorkan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke kas negara adalah sesuai aslinya, sedangkan selebihnya dinikmati oleh para pejabat Kedubes RI di Kuala Lumpur. Selisih pendapatan dari pemungutan menggunakan SK ganda itu, menurut KPK, mencapai Rp26,59 miliar atau 10,6 juta RM. KPK juga menemukan adanya selisih kurs visa antara yang dipungut dan disetorkan ke kas negara. Uang yang dipungut dalam bentuk ringgit Malaysia sementara yang disetorkan ke kas negara dalam bentuk mata uang dolar Amerika Serikat, sehingga terdapat selisih Rp922 juta atau setara 369 ribu RM. KPK memperkirakan kerugian negara akibat praktik pungutan liar itu mencapai Rp27,5 miliar. Hadi mengaku, baru mengetahui dan baru melihat SK Ganda tersebut saat diperlihatkan oleh penyidik KPK. Selama bertugas tiga tahun di Kuala Lumpur sejak Juni 2000 hingga Juni 2003, Hadi mengaku tidak tahu keberadaan SK palsu yang ditandatangani oleh Dubes sebelumnya, M Jacob Dasto, pada 20 Juli 1999. SK palsu yang menarik biaya keimigrasian yang lebih tinggi dari tarif sebenarnya itu dibuat oleh Kabid Imigrasi KBRI Kuala Lumpur saat itu, Suparba Wamiarsa, tanpa sepengetahuan Jacob Dasto. Suparba juga telah disidangkan di pengadilan tipikor bersama dengan Hadi Warayabi. Hadi mengatakan, ia memang menerima uang senilai 19 ribu Ringgit Malaysia (RM) dari Suparba yang dikatakan sebagai uang representasi atau uang lobi. Selain dari Suparba, Hadi juga mengaku menerima sejumlah uang lagi senilai 1.000 RM dari pengganti Suparba, Arihken Tarigan. Hadi juga mengatakan, praktik pungutan dengan SK palsu itu terus berlanjut hingga masa Dubes sesudahnya, Roesdihardjo.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008